Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal yang tampak sepele ternyata menyentuh wilayah rohani yang dalam. Salah satunya adalah soal makanan. Sejak zaman para rasul, pertanyaan seperti “Bolehkan orang Kristen makan darah atau makanan yang pernah dipersembahkan kepada berhala?” sudah muncul dan bahkan sempat menimbulkan perdebatan besar dalam gereja mula-mula.
Bagi sebagian orang, hal ini dianggap urusan kecil. Tetapi bagi jemaat abad pertama, terutama antara orang Yahudi dan non-Yahudi, persoalan makanan bisa memecah persekutuan dan merusak kesaksian iman. Karena itu, para rasul berkumpul di Yerusalem untuk mencari kehendak Tuhan bersama. Dari sanalah lahir keputusan penting yang tercatat dalam Kisah Para Rasul pasal 15, keputusan yang bukan sekadar soal makanan, tetapi tentang kasih, kesatuan, dan kebebasan dalam Kristus.
Kini, dua ribu tahun kemudian, pertanyaan yang sama masih relevan. Apakah larangan itu masih berlaku bagi kita? Bagaimana kita memahami dan menerapkannya di zaman modern?
Mari kita telusuri bersama maknanya, bukan hanya untuk tahu apa yang boleh dimakan, tetapi untuk mengerti bagaimana hidup kita memuliakan Tuhan di setiap pilihan yang kita ambil.
1. Konteks Keputusan Konsili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15)
Empat larangan yang disebutkan (makanan berhala, darah, daging binatang yang dicekik, dan percabulan) bukan sekadar hukum upacara, melainkan aturan etika rohani untuk menjaga kesatuan antara orang Yahudi dan non-Yahudi.
Tujuannya saat itu:
- Menghindari benturan budaya antara dua kelompok jemaat,
- Menjaga persekutuan meja (fellowship meal) agar tidak menimbulkan perpecahan,
- Menunjukkan kesucian moral dan penghormatan kepada Allah di tengah masyarakat penyembah berhala.
Jadi, keputusan itu bukan hukum keselamatan, tetapi aturan kesopanan rohani (spiritual courtesy) demi kesatuan tubuh Kristus.
2. Perkembangan Setelah Masa Para Rasul
Seiring waktu:
- Gereja makin tersebar di wilayah non-Yahudi,
- Pengaruh Yudaisme makin kecil dalam komunitas Kristen,
Dan pemahaman tentang kasih karunia Kristus makin matang (lihat Roma 14:14; Markus 7:18–19; 1 Korintus 8–10), maka banyak gereja tidak lagi menerapkan larangan makan darah dan makanan berhala secara literal.
3. Prinsip Alkitab tentang Makanan
a. Makanan yang Dicemarkan Berhala
Dalam 1 Korintus 8 dan 10, Paulus menjelaskan :
Secara rohani, berhala bukan apa-apa, dan makanan tidak membuat seseorang berdosa di hadapan Allah.
Namun, jika tindakan itu menyesatkan atau melukai iman saudara seiman yang lemah, lebih baik menahan diri.
“Segala sesuatu halal, tetapi tidak semuanya berguna; segala sesuatu halal, tetapi tidak semuanya membangun.” - 1 Korintus 10:23
b. Tentang Makan Darah
Dalam Perjanjian Lama, darah dilarang karena :
- Melambangkan hidup (Imamat. 17:11),
- Menunjuk kepada korban penebusan Kristus
Setelah Kristus menumpahkan darah-Nya sebagai korban sempurna, simbol itu telah digenapi. Karena itu, banyak gereja memahami larangan darah sebagai penghormatan kepada hidup dan pengorbanan Kristus, bukan sebagai pantangan hukum yang tetap mengikat.
4. Kesimpulan
Gereja yang mengizinkan makan darah atau makanan yang pernah dipersembahkan kepada berhala tidak menolak Alkitab, melainkan menafsirkan keputusan Konsili Yerusalem sebagai konteks historis, bukan hukum moral yang kekal.
Namun, esensi moralnya tetap berlaku:
- Jagalah kesucian hidup,
- Hormati tubuh yang adalah bait Roh Kudus,
- Jangan menjadi batu sandungan bagi sesama.
Refleksi Bagi Orang Percaya :
Sebagai orang percaya masa kini, fokus kita bukan lagi pada apa yang dimakan, melainkan bagaimana hidup kita memuliakan Kristus di tengah dunia yang penuh kompromi.
“Sebab kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus.” - Roma 14:17
.webp)
No comments:
Post a Comment