Tuesday, June 18, 2013

Pernyataan Haria


Bersama ini kami dari Pulau Hunimua dan Nusa Laut memberi pertanggung jawaban menurut kebenaran. Segala sesuatu terjadi karena Kapitan Thomas Matulessi yang kami muliakan dan raja-raja patih dan rakyatnya sudah terlampau menderita akibat kekejaman Belanda, akibat kekejaman pemerintah Belanda, sebagai terbukti dibawah ini: Pemerintah Belanda bermaksud hendak memisahkan semua laki-laki dari anak istrinya dengan cara paksa dan mengirim mereka ke Batavia. Yang menolak perintah itu akan dirantai. 

Kami rakyat tidak mempergunakan uang kertas dalam hidup sehari-hari, jika kami menolak untuk menerimannya dari gubernemen kami dihukum keras. Lagi pula jika kami hendak membayar dengan uang kertas itu, pemerintah tidak mau menerimanya; kami harus membayar dengan uang perak. 

Kami banyak melakukan pekerjaan berat untuk gubernemen akan tetapi tidak menerima upah untuk hidup. Pemerintah Belanda memerintahkan kami menyerahkan ikan, garam tanpa bayaran, tapi tidak membebaskan kami dari pekerjaan rodi lainnya, agar kami bisa melakukan pekerjaan tersebut. 

Hal-hal tersebut diatas dinyatakan dengan benar. Jika pemerintah Belanda tidak memerintah kami sebagaiman mestinya, maka kami akan memerangi mereka untuk selama-lamanya. Juga kami kepala-kepala negeri serta rakyat, tidak memilih Kapitan Pattimura tersebut diatas jadi pemimpin kami, akan tetapi ia ditunjuk oleh Yang Maha Tinggi. 

Saparua, 19 Mei 1817 

NB : Pernyataan Haria yang disiarkan kepada rakyat diseluruh pelosok negeri melalui utusan-utusan merupakan sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa tekad orang Maluku adalah satu untuk berperang menentang penindasan dan menegakkan keadilan. Pernyataan ini ditandatangani oleh raja-raja patih dari seluruh pelosok tanah Lease yang merupakan hasil musyawarah besar dengan Kapitan Pattimura di sebuah baleo di Haria. 

Daftar Pustaka:
  • Alwi, Des (2005). Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon. Jakarta: Dian Rakyat.

Monday, June 17, 2013

Kapitan Pattimura


Foto ini diperoleh dari Museum Angkatan Laut di Prince Hendrik Kade, Rotterdam, Belanda, hasil lukisan komandan marinir Belanda, Q.M.R.Verhuell, yang menumpas pemberontakan Thomas Matulessi pada 1871. Verhuell melukis Thomas saat membuat berita acara pemeriksaan Thomas.

Thomas Matulessi lahir ditengah-tengah penderitaan rakyat Maluku yang ditindas oleh VOC, yaitu pada tanggal 8 Juni 1783 di Saparua dari seorang ayah yang bernama Frans Matulessi dan ibu bernama Fransina Silahoi.

Het Fort Duurstede - Saparua
Pada usia 13 tahun Thomas Matulessi menyaksikan bendera Belanda dalam benteng Duurstede diturunkan dan diganti dengan bendera Inggris. Peristiwa itu sangat membekas di hati Thomas muda, karena pandangan bahwa “Belanda tidak bisa kalah” luntur pada hari itu.

Tapi kekuasaan Inggris di tanah Maluku tidak bertahan lama, tahun 1803 Napoleon tertangkap dan Inggris harus mengembalikan Ambon, Haruku, Saparua, Banda dan kepulauan Maluku lainnya kepada Belanda sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh Inggris dan Belanda. Thomas Matulessi ketika itu sudah berumur 20 tahun.

Dengan kembalinya Belanda berkuasa di Maluku maka kembali lagi sistim pas jalan yang dimana rakyat tidak boleh berpergian semaunya dan perdagangan bebas dilarang,

Pada era itu Gubernur Jenderal Daendels memberi perintah supaya gubernur dan komandan militer untuk mengumpulkan pemuda untuk dikirim sebagai serdadu ke pulau Jawa dan kalau perlu dengan paksa. Banyak pemuda Maluku yang menolak hal itu karena mereka tidak mau meninggalkan keluarga dan tanah kelahiran mereka, Thomas Matulessi muda juga bersikap yang sama, mereka bersembunyi di hutan-hutan menghindar dari kejaran serdadu-serdadu Belanda.

Tahun 1808 di pantai kota Ambon tentara Inggris menghancurkan tentara Belanda, dan benteng Nieuw Victoria direbut. Ketika Gubernur Heukelvlugt tandatangan surat penyerahan di atas kapal Inggris meriampun dibunyikan, menyusul bunyi tembakan dari benteng Duurstede dan bendera Inggris dinaikkan.

Peta Fort Niuw Victoria - Ambonia
Dalam rangka memperkuat tentara dan mendekatkan diri dengan masyarakat lokal. Pemerintah Inggris membentuk corps batalyon yang disebut “Korp Batalyon 500” yang terdiri dari pemuda-pemuda Maluku yang hanya bertugas di Maluku. Hal tersebut disambut dengan semangat oleh sejumlah pemuda Maluku dengan antre di dalam benteng Victoria untuk mendaftar. Dan Thomas Matulessi termasuk dalam antrean tersebut. Mereka dilatih menembak, perang-perangan dan kegiatan militer lainnya. Thomas yang paling terampil dan cekatan sudah memperoleh tanda pangkat dalam latihan tersebut. Thomas sudah tidak lagi bersama dengan teman-temannya tapi sudah memimpin regu dan di pakaian seragamnya tampak tanda pangkat sersan mayor, pada zaman itu menjadi kepala staf batalyon.

Karir Thomas Matulessi di tentara Inggris tidak berlangsung lama karena di sebuah ruangan gedung parlemen di London jauh disana tampak utusan-utusan Belanda dan Inggris sedang menandatangani dokumen-dokumen penyerahan Maluku dari Inggris ke Belanda.

Dalam traktat London tersebut salah satunya mencantum bahwa Korp Batalyon 500 yang didirikan oleh Inggris tidak diserahkan kepada Belanda dan harus dibubarkan, karena Belanda tidak mau membayar ongkos ganti rugi pembentukan korp tersebut sebesar 50.000 poundsterling.

Fort Nieuw Victoria - Ambonia
Dalam pidato pembubaran Korp Batalyon 500 oleh Residen Martin mewakili pemerintah Inggris di depan benteng Victoria, disampaikan bahwa atas jasa pemuda-pemuda Maluku yang telah menjadi prajurit yang baik selama kedinasan maka pemerintah Inggris memberikan tanda penghargaan surat bebas, sebuah surat yang menyatakan kedudukan mereka adalah kedudukan borgor yang dimana mereka bebas dari berbagai jenis kerja paksa dan kerja kwarto lalu tidak tunduk pada raja atau patih serta tidak boleh dihukum oleh kepala negeri. Lalu Thomas Matulessi bersama kawan-kawan sekampungnya pulang ke Saparua

Begitu Residen Van Den Berg mewakili pemerintah Belanda menjadi Residen Saparua, perdagangan bebas dilarang, kerja rodi dijalankan lagi, transaksi perdagangan dilakukan dengan uang kertas dan kedudukan borgor bagi para mantan Korp Batalyon 500 tidak dianggap.

Akibat kebijasanaan tersebut rakyat resah dan benci dengan Belanda, khususnya para mantan Korp Batalyon 500.

Puncaknya ketika Gubernur Maluku Middelkoop menyuruh sekretarisnya mengeluarkan pengumuman di Ambonia yang berisikan bahwa : “Dalam jangka waktu tiga bulan semua bekas prajurit Inggris, penganggur dan orang asing tanpa pekerjaan atau tanpa surat keterangan dari kepala negeri harus mencari pekerjaan di kota Ambon atau masuk tentara Belanda atau pulang ke negeri masing-masing. Jika tidak mereka akan ditangkap dan diangkut ke Banda untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala.”

Lalu pada 4 April 1817 siang di hutan Liang, Thomas Matulessi berbicara dengan kawan-kawannya mantan Korp Batalyon 500 untuk melakukan perlawanan kepada Belanda yang ditindaklanjuti dengan mengirim utusan kepada seluruh rakyat Maluku untuk mengadakan rencana pemberontakan.

Rencana tersebut disambut masyarakat dengan diadakan pertemuan di bukit Saniri negeri Tuhaha pada tanggal 14 Mei 1817, pertemuan itu merupakan musyawarah besar dari semua kapitan dari Saparua, Haruku, Nusalaut dan Seram yang dihadiri oleh :

  • Anthone Rhebok (Korp Batalyon 500) dari Saparua;
  • Philips Latumahina (Korp Batalyon 500) dari Paperu;
  • Said Perintah dari Siri-Sori Islam;
  • Lukas Arong Lisapaly dari Ihamahu;
  • Slomon Patiwael Tiouw;
  • Kapitan Hatipa Patty dari Haruku;
  • Kapitan Maleita dari Booi;
  • Hehanusa dari Titawaai;
  • Kakirusi dari Porta;
  • Kakerissa dari Rumahkaai;
  • Pariama dari Tihulale;
  • Kapitan Kakano Sahetappy dari Seram;
  • Kapitan Paulus Tiahahu dari Abubu yang didampingi oleh anak perempuannya Martha Tiahahu.


Ketika doa kepada Tuhan untuk membuka pertemuan yang dipimpin oleh kepala Adat berakhir, tampillah Thomas Matulessi mengusulkan untuk tindakan pertama-tama dari pemberontakan kepada Belanda adalah menyerang benteng Duurstede, semuanya diam. Kemudian Thomas melanjutkan pembicaraannya : “Sekarang kita harus memilih Pangulu Perang.”

Lalu Thomas membentangkan dadanya lalu menyuruh salah seorang untuk menikamnya. Mula-mula semua ragu-ragu, tapi kemudian seorang kapitan maju dan dengan sekuat tenaga menombak dadanya Thomas dengan tombak yang dibawa dia, tombak itu patah dua. Kemudian Thomas berkata : “Saya akan memimpin peperangan ini. Jika ada yang keberatan, silakan mengajukan nama pangulu lain.” Semua diam. Tiba-tiba Kapitan Paulus Tiahahu berteriak : "Pengulu perang, Thomas Matulessi....mari kita bersumpah akan patuh pada Thomas Matulessi, Kapitan Pattimura."

Het Fort Duurstede - Saparua
Prestasi pertempuran yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura adalah dapat direbutnya benteng Duurstede tanggal 15 Mei 1817 dan membunuh Residen Van Den Berg serta semua tentara Belanda kecuali putra Residen saja yang bernama Jean Lubbert yang dibiarkan hidup dalam pertempuran yang berlangsung dalam beberapa jam saja, dalam tiga kali gelombang penyerangan, yang berakhir sebelum matahari terbit. Perebutan benteng tersebut merupakan satu-satunya benteng kekuasaan Belanda di Indonesia yang dapat diduduki melalui pertempuran oleh pasukan pribumi. Benteng lainnya yang dapat diduduki pasukan pribumi yaitu benteng Alamo di Meksiko pada abad ke-19; Dan Kapitan Pattimura juga berhasil menghancurkan ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Mayor Beetjes yang terdiri dari infanteri dan marinir, yang mendarat di pantai Waisisil tanggal 20 Mei 1817, yang berencana merebut kembali benteng Duurstede. Selain Mayor Beetjes, Letnan Verbruggen dengan kadet ‘t Moot, lebih dari 250 orang pasukan mati pada hari itu. Hanya satu orang saja yang berhasil berenang menunju orambai yang berada jauh ditengah laut. Setelah kemenangan itu bersama dengan raja-raja patih dari seluruh pelosok tanah Lease, Kapitan Pattimura membuat "Penyataan Haria".

Pemberontakan Kapitan Pattimura juga diikuti oleh pemberontakan rakyat Seit, Asilulu, Uring, Wakasisihu, dan Larike dibawah pimpinan Kapitan Ulupalu dari Seit dengan menyerang benteng Belanda di Larike. Dan pemberontakan di Hila yang menyebabkan Residen Burgraaf terbunuh.

Dalam penumpasan pemberontakan Kapitan Pattimura, pihak Belanda dibantu oleh putra mahkota Ternate, Pangeran Mohamad Zain (M.Zain) dengan membawa sekitar seribu orang Arafuru Ternate (Halmahera).

Kora Kora
Pangeran M.Zain sangat pro Belanda dan bahkan membela Belanda ketika Inggris mendarat di Ternate. Dia pun memakai nama Belanda yaitu Hendrik van Amsterdam. Komandan Marinir Belanda, Q.M.R. Verhuell menulis bahwa Pangeran M.Zain, yang kemudian menjadi Sultan Ternate, adalah peminum alkohol saat berada di ruang pribadi kapal perang Evertsen. Sedangkan dalam kritiknya terhadap Kapitan Pattimura, Verhuell menyatakan “Kok berani betul melawan Belanda yang mempunyai pasukan sangat kuat”. Perlu juga disebutkan disini bahwa pasukan Belanda di Saparua sangat kejam sehingga kampung-kampung Kristen yang pernah membantu Kapitan Pattimura dibakar dan warga tak berdosa dibunuh, Kekejaman pasukan Belanda meluas hingga ke Seram, Amahai, Rumah Kai dan daerah lainnya yang pernah dipengaruhi oleh Kapitan Pattimura. Keganasan pasukan Belanda yang membakar kampung-kampung Kristen dan membunuh warga tak berdosa itu diprotes oleh para pendeta Belanda yang berada di daerah-daerah tersebut. Kemudian para pendeta tersebut meninggalkan Ambon dan menyuarakan protesnya di Batavia sebelum pulang ke Belanda (dokumen tentang protes para pendeta Belanda ini tersimpan di Arsip Nasional-Jakarta).

Tapi akibat penghianatan oleh Raja Booi, Kapitan Pattimura dapat ditangkap oleh Belanda pada tanggal 11 November 1817 di hutan antara Booi dan Haria. Ia ditangkap beserta kawan-kawannya yang diantaranya adalah Kapitan Anthone Rhebok, Raja Said Perintah dan Letnan Philips Latumahina.

Peta Fort Niuw Victoria - Ambonia
Kapitan Pattimura beserta kawan-kawannya mengakhiri hidupnya di tiang gantungan di dalam benteng Victoria tanggal 16 Desember 1817, ketika akan dilaksanakan eksekusi itu pelabuhan Ambon kelihatan korakora Ternate dan Tidore - pasukan Alifuru dalam pakaian perang didaratkan untuk menjaga keamananan. Kematian mereka disaksikan oleh Buyskes dan para pembesar-pembesar sipil dan militer didampingi para anggota dewan. Setelah eksekusi dilaksanakan tubuh-tubuh mereka dimasukkan ke dalam keranjang besi dan dibuang ke Teluk Ambon tidak jauh dari pantai Batu Capeo.

Meskipun Pattimura sudah mati, tapi pemberontakan tetap berjalan terus. Pada 1829 pecah kembali pemberontakan dan juga di Seram terjadi beberapa pemberontakan dan selalu pemimpin pemberontakan tersebut digelari Kapitan Pattimura mengikuti jejak Pattimura yang dihukum mati itu. Nama Pattimura juga dipakai sebagai nama keluarga atau juga sebagai nama bayi laki-laki yang baru dilahirkan terutama di Seram Barat atau tempat terjadinya pemberontakan kecil melawan pemusnahan kebun-kebun cengkeh dan pala oleh Belanda yang di sebut hongi. Sejarah pemberontakan kecil-kecil ini tidak ditulis secara konkret tetapi hanya cerita dari mulut ke mulut sehingga ada yang berpendapat bahwa sosok Pattimura itu adalah beragama Islam. Itu karena cerita rakyat tadi itu, tetapi yang terjadi di Saparua itu adalah Kapitan Pattimura yang sebenarnya.


Daftar Pustaka :
  • Alwi, Des (2005). Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon. Jakarta: Dian Rakyat.
  • Nanulaita, I.O (1985). Kapitan Pattimura. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
  • http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/pattimuraengels.htm

Mengapa Ada Banyak Gereja

Pertanyaan mengenai mengapa ada begitu banyak gereja dapat dilihat dari berbagai perspektif teologis, budaya, dan sejarah. Berikut adalah be...