Friday, June 20, 2025

Hidup dari Apa yang Sudah Diberikan

Dalam dunia yang penuh tuntutan dan pengukuran berdasarkan pencapaian, mudah bagi kita untuk terjebak dalam pola pikir “supaya” seperti supaya diberkati, supaya dilihat benar, supaya menang. Tapi Injil Yesus Kristus datang membalikkan cara pandang itu. Injil mengajarkan kita hidup bukan supaya, tapi karena kita sudah diberi.

Seorang anak Allah tidak memberi supaya ia kaya, tapi karena ia sudah merasa kaya di dalam Kristus. Ia tidak percaya karena hidupnya mudah, tapi karena Tuhan setia, meski realita terlihat gelap. Ia tidak memikul salib untuk diterima, tapi karena ia tahu dirinya sudah dibenarkan.

Dunia mungkin berkata, “Buktikan dulu.” Tapi kasih karunia berkata, “Ini sudah menjadi milikmu.” Maka setiap langkah hidup orang percaya adalah tanggapan, bukan strategi untuk memperoleh, tapi respon terhadap apa yang sudah Tuhan lakukan.

Tulisan ini akan menuntun kita untuk melihat lima kebenaran penting tentang hidup dalam kasih karunia. Bukan agar kita berjuang demi penerimaan, tapi supaya kita hidup keluar dari kepastian bahwa kita sudah diterima.

Membangun di Tengah Penentangan

Setiap kali seseorang mencoba membangun sesuatu yang kudus. entah itu keluarga yang takut akan Tuhan, pelayanan yang setia, atau kehidupan rohani yang berkenan, selalu ada satu hal yang pasti: penentangan akan datang.

Kitab Ezra pasal 4 sampai 6 adalah gambaran nyata bagaimana pekerjaan Tuhan tidak berjalan tanpa rintangan. Namun lebih dari itu, kisah ini adalah kesaksian bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan proyek yang dimulai-Nya.

Ketika musuh mencoba menyusup, ketika tekanan politik menghentikan pembangunan, ketika semangat mulai padam, Tuhan mengirimkan nabi-Nya, menggerakkan hati raja kafir, dan membalikkan keadaan. Yang penting bukan hanya bagaimana umat Tuhan memulai, tapi bagaimana mereka tetap setia sampai akhir, dan melihat tangan Tuhan menyelesaikannya dengan kemuliaan.

Renungan ini mengajak kita merenungkan ulang panggilan kita: Apakah kita sedang membangun sesuatu yang Tuhan perintahkan? Dan ketika tantangan datang, apakah kita tetap percaya bahwa Dia yang memulai, juga akan menyelesaikan?

Renungan: Tafsir Ezra 4–6

Ketika Pekerjaan Tuhan Dihadang, Didorong, dan Diselesaikan

Ezra 4–6 memperlihatkan kisah yang sangat relevan dengan kehidupan pelayanan kita hari ini: perjuangan membangun kembali sesuatu yang kudus di tengah tantangan dari luar dan dalam. Kisah ini bukan hanya tentang sejarah Israel, tetapi juga tentang kesetiaan, ketekunan, dan penyertaan Tuhan dalam menghadapi rintangan.

Ezra 4 – Penentangan terhadap Pembangunan Bait Allah

Ringkasan:

Bangsa Israel yang baru kembali dari pembuangan mulai membangun kembali Bait Suci di Yerusalem. Namun, segera mereka menghadapi penentangan dari penduduk sekitar, bangsa campuran yang tidak seiman, yang mencoba menyusup dan mempengaruhi pekerjaan tersebut. Setelah ditolak, mereka memakai tekanan politik dan akhirnya berhasil menghentikan pembangunan sampai masa pemerintahan Raja Darius.

Penafsiran:

  • Ay. 1–3 – Penawaran bantuan dari musuh bukanlah sebuah pertolongan, tetapi strategi penyusupan. Para pemimpin Israel, Zerubabel dan Yeshua, bersikap tegas dan menolak kompromi iman.
  • Ay. 4–5 – Musuh kemudian menggunakan taktik intimidasi, teror, dan suap untuk melemahkan semangat umat.
  • Ay. 6–24 – Dengan melibatkan otoritas kerajaan, mereka menulis surat pengaduan yang berhasil menghentikan pembangunan sementara.

Aplikasi:

  • Tidak semua bantuan berasal dari hati yang tulus. Kadang, kompromi yang tampak “baik” justru menjauhkan kita dari kebenaran.
  • Tetap teguh pada panggilan Tuhan meskipun ada tekanan, karena pekerjaan Tuhan tidak pernah luput dari ujian.

Ezra 5 – Nabi Menguatkan dan Pembangunan Dilanjutkan

Ringkasan:

Setelah pembangunan terhenti, Tuhan membangkitkan nabi Hagai dan Zakharia untuk memberikan dorongan rohani. Melalui mereka, umat kembali bersemangat dan mulai membangun kembali, meski tekanan belum berakhir.

Penafsiran:

  • Ay. 1–2 – Firman melalui nabi membangkitkan kembali semangat pelayanan. Peran nubuat sangat penting untuk menyalakan kembali api yang padam.
  • Ay. 3–5 – Sekali lagi proyek dipertanyakan oleh pejabat kerajaan, namun tangan Tuhan melindungi mereka.
  • Ay. 6–17 – Surat resmi dikirim ke Raja Darius, kali ini bukan untuk menghentikan, tapi untuk meminta klarifikasi hukum atas dasar dekrit Raja Koresh dahulu.

Aplikasi:

  • Ketika kita mulai goyah karena tekanan hidup dan pelayanan, Tuhan tidak diam. Ia memakai firman dan utusan-Nya untuk membangkitkan kembali iman yang mulai redup.
  • Ketaatan pada firman Tuhan menumbuhkan keberanian, bahkan sebelum keadaan berubah.

Ezra 6 – Kemenangan dan Penyelesaian Pembangunan

Ringkasan:

Raja Darius menanggapi surat itu dengan mencari dekrit lama. Setelah menemukan dekrit Raja Koresh yang sah, ia mengizinkan pembangunan dilanjutkan, bahkan memerintahkan agar semua biaya dibayar dari kas kerajaan Persia. Proyek Bait Allah pun diselesaikan, dan perayaan rohani besar dilakukan.

Penafsiran:

  • Ay. 1–12 – Tuhan memakai kekuasaan dunia untuk mendukung pekerjaan-Nya. Darius tidak hanya menyetujui pembangunan, tetapi juga melindunginya secara hukum.
  • Ay. 13–15 – Ketekunan umat akhirnya berbuah: proyek selesai dengan sukses.
  • Ay. 16–22 – Bait Allah ditahbiskan, Paskah dirayakan kembali, menandai pemulihan bukan hanya fisik tapi juga rohani.

Aplikasi:

  • Tuhan bisa memakai siapa pun, bahkan pemimpin dunia yang tidak mengenal-Nya, untuk menggenapi rencana-Nya.
  • Ketekunan dalam iman dan pelayanan akan membawa buah, walau harus melalui masa penantian panjang.
  • Pemulihan rohani adalah sukacita terbesar dari kemenangan pelayanan.

Kesimpulan :

Tema Utama:

Kesetiaan kepada Tuhan di tengah penolakan akan menghasilkan pemulihan dan penyertaan ilahi.

Pelajaran Penting:

  • Jangan menyerah saat menghadapi oposisi dalam menjalankan kehendak Tuhan.
  • Tuhan selalu punya cara untuk menguatkan umat-Nya, baik melalui firman, hamba-Nya, maupun situasi yang tidak terduga.
  • Allah berdaulat atas sejarah: apa yang dimulai-Nya, pasti akan diselesaikan-Nya.

💧Ketika Tuhan memanggil kita membangun sesuatu yang kudus, baik dalam keluarga, gereja, maupun pelayanan, tidak semua akan mendukung. Tapi jangan takut, karena Tuhan yang memulai akan menyelesaikannya dengan kemuliaan.

Tuesday, June 17, 2025

Kerinduan Akan Rumah Sejati

Dalam setiap hati manusia, tersembunyi kerinduan yang dalam — kerinduan akan damai, keindahan, kasih yang tanpa syarat, dan tempat di mana kita benar-benar dikenal dan diterima. Dunia ini, seindah apa pun, tidak pernah benar-benar mampu memuaskan kerinduan itu.

Alkitab mengungkapkan alasannya: kita memang tidak diciptakan untuk dunia ini saja. Kita diciptakan untuk surga — tempat di mana hadirat Allah memenuhi segalanya, di mana tidak ada lagi air mata, penderitaan, atau kematian.

Surga bukan sekadar tempat yang jauh entah di mana. Surga adalah rumah sejati kita, tujuan akhir dari perjalanan iman, dan jawaban dari setiap keluhan terdalam jiwa manusia. Ini bukan mimpi kosong, melainkan janji Allah yang kekal, nyata, dan pasti.

Renungan ini akan menuntun kita menengok ke depan — melihat gambaran tentang surga dari Kitab Wahyu, bukan untuk membuat kita lari dari kenyataan hidup sekarang, tapi supaya kita menjalani hidup hari ini dengan pengharapan yang tak tergoyahkan.

Karena siapa pun yang mengarahkan hatinya ke surga, akan berjalan di bumi ini dengan arah yang benar.

Surga — Lebih dari yang Pernah Kita Bayangkan

Banyak orang membayangkan surga sebagai tempat samar, seperti awan dan cahaya, atau sekadar ruang spiritual yang tak tergambarkan. Namun Alkitab — khususnya dalam Kitab Wahyu — memberi kita gambaran yang jauh lebih jelas dan megah.

Surga bukan sekadar tempat "di atas sana", tapi kota nyata, disebut Yerusalem Baru — luar biasa dalam ukuran, sempurna dalam bentuk, dan penuh dengan kemuliaan Allah. Kota ini dirancang oleh Tuhan sendiri, bukan hanya untuk menjadi tempat tinggal kita yang kekal, tetapi juga untuk menyatakan kekudusan, keindahan, dan kehadiran-Nya secara penuh.

Apa yang digambarkan dalam Wahyu bukanlah dongeng simbolik semata. Itu adalah janji visual tentang masa depan kita — sebuah rumah kudus raksasa, penuh kemuliaan, yang menyatukan unsur taman Eden dan Bait Allah, terang ilahi tanpa malam, dan kehidupan tanpa akhir.

Renungan ini akan membawa kita menyelami arsitektur kekal dari rumah yang sedang Tuhan siapkan bagi umat-Nya. Dan semakin kita mengerti bentuk surga itu, semakin hati kita rindu untuk hidup sesuai panggilan-Nya hari ini.

Sunday, June 15, 2025

Baptisan Bayi: Anugerah Allah yang Mendahului Iman

Baptisan adalah salah satu tanda dan sakramen yang paling penting dalam kehidupan orang percaya. Namun di antara berbagai denominasi Kristen, ada perbedaan besar mengenai kapan baptisan seharusnya dilakukan—apakah sejak bayi atau setelah seseorang mengaku percaya.

Praktik baptisan bayi telah menjadi bagian dari sejarah gereja selama hampir dua milenium. Sebagian melihatnya sebagai tanda kasih karunia Allah yang mendahului respons manusia, sedangkan yang lain menegaskan bahwa baptisan harus mengikuti pertobatan dan iman pribadi.

Perbedaan ini sering menimbulkan perdebatan, tetapi sesungguhnya, di balik perbedaan tersebut, ada kerinduan yang sama: membawa anak-anak dan semua orang ke dalam perjanjian kasih Allah.

Melalui tulisan ini, kita akan menelusuri baptisan bayi dari empat sudut pandang—sejarah, Alkitab, teologi, dan pandangan denominasi—untuk melihat akar, makna, dan alasan di balik praktik ini. Tujuannya bukan untuk memenangkan argumen, tetapi untuk memperkaya pemahaman kita, menghargai keberagaman tubuh Kristus, dan meneguhkan panggilan utama kita: membesarkan generasi yang mengenal dan mengasihi Tuhan.


1. Apa itu Baptisan Bayi?

Baptisan bayi adalah praktik membaptis anak-anak sejak usia sangat muda (bahkan sejak bayi), biasanya dengan cara percik atau menuang air ke atas kepala, dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

Tujuannya adalah:

  • Menandai masuknya anak ke dalam perjanjian Allah

  • Mengakui bahwa anak adalah bagian dari komunitas iman

  • Menyatakan anugerah Allah yang mendahului tanggapan manusia


2. Asal-usul Baptisan Bayi: Sejarah Awal

  • Baptisan bayi tidak secara eksplisit dicatat dalam Alkitab, tetapi sudah dipraktikkan sejak abad ke-2 oleh gereja awal.

  • Tokoh seperti Irenaeus (±180 M) dan Origenes (±250 M) mencatat praktik ini sebagai tradisi yang umum di kalangan gereja.

  • Pada abad ke-4, Augustinus menegaskan pentingnya baptisan bayi sebagai bagian dari pengampunan dosa asal (original sin).


3. Apakah Alkitab Mendukung Baptisan Bayi?

Alkitab tidak mencatat secara eksplisit bahwa bayi dibaptis, tapi ada indikasi dan prinsip-prinsip yang dipakai sebagai dasar:

✅ a. Baptisan Satu Keluarga

Beberapa ayat mencatat bahwa seluruh rumah tangga (household) dibaptis:

  • Kisah Para Rasul 16:15 – "…dan seisi rumahnya dibaptis"

  • Kisah Para Rasul 16:33 – Penjaga penjara Filipi dan seluruh keluarganya dibaptis pada malam itu juga.

  • 1 Korintus 1:16 – Paulus membaptis rumah Stefanus.

Kata “rumah tangga” dipahami mencakup anak-anak, bahkan bayi, walaupun tidak disebutkan eksplisit.

✅ b. Paralel dengan Sunat dalam Perjanjian Lama

  • Dalam Perjanjian Lama, sunat adalah tanda perjanjian, dilakukan pada bayi laki-laki saat usia 8 hari.

  • Baptisan dalam Perjanjian Baru dipandang sebagai tanda perjanjian rohani yang baru (Kolose 2:11–12), sehingga logikanya:

    “Jika anak bayi boleh disunat (tanda perjanjian lama), maka mereka juga boleh dibaptis (tanda perjanjian baru).”


4. Alasan Teologis Mendukung Baptisan Bayi

Gereja-gereja yang mendukung baptisan bayi (seperti Katolik, Lutheran, Reformed, dan Anglikan) memberi dasar teologis sebagai berikut:

🔹 a. Anugerah Allah Mendahului Respons

  • Baptisan bukan hanya tentang keputusan pribadi, tapi tentang inisiatif Allah yang memanggil dan menyelamatkan.

  • Maka, baptisan bayi menegaskan bahwa keselamatan adalah kasih karunia, bukan usaha manusia.

🔹 b. Anak-anak adalah Bagian dari Umat Allah

  • Dalam Lukas 18:16, Yesus berkata, “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku… karena orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.”

  • Baptisan bayi dianggap sebagai penerimaan anak-anak ke dalam komunitas perjanjian (Gereja).

🔹 c. Pendidikan dan Pengakuan Iman Selanjutnya

  • Gereja mengharapkan bahwa anak yang dibaptis akan dibesarkan dalam iman, dan saat dewasa, mengakui sendiri iman tersebut (dalam pengakuan iman sidi atau konfirmasi).


5. Pandangan yang Menolak Baptisan Bayi

Kelompok-kelompok seperti Baptis, Pentakosta, Advent, dan gereja non-denominasi tidak mengakui baptisan bayi karena alasan berikut:

🔸 a. Baptisan Harus Disertai Pertobatan dan Iman Pribadi

  • Markus 16:16 – “Barangsiapa percaya dan dibaptis…

  • Kisah Para Rasul 2:38 – “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis…

👉 Karena bayi belum bisa percaya atau bertobat, maka baptisan dianggap tidak sah jika dilakukan tanpa keputusan pribadi.

🔸 b. Tidak Ada Contoh Langsung di Alkitab

  • Alkitab tidak pernah secara eksplisit mencatat bayi dibaptis.

  • Semua yang dibaptis dalam Kisah Para Rasul menunjukkan iman pribadi dan pertobatan.

🔸 c. Baptisan adalah Tindakan Ketaatan Pribadi

  • Dipandang sebagai pernyataan iman dan komitmen pribadi kepada Kristus.

  • Maka dilakukan setelah seseorang secara sadar memilih percaya.


6. Apakah Anak Bayi yang Belum Dibaptis Bisa Diselamatkan?

Gereja-gereja yang tidak mempraktikkan baptisan bayi tetap percaya bahwa anak-anak kecil berada dalam anugerah Tuhan.

  • Banyak orang Kristen meyakini bahwa anak-anak kecil yang belum mencapai usia pertanggungjawaban (age of accountability) belum dikenakan hukuman atas dosa pribadi, karena mereka belum memiliki kemampuan penuh untuk memahami, memilih, dan bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam masa ini, mereka dipandang berada di bawah naungan kasih karunia Allah yang melindungi. Keyakinan ini berakar pada firman Yesus yang berkata, “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku… karena orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Lukas 18:16), yang menunjukkan hati Allah yang penuh belas kasih bagi anak-anak. Dengan demikian, keselamatan mereka bukan bergantung pada baptisan atau tindakan lahiriah, tetapi pada kebaikan dan kasih Allah yang sempurna.


7. Kesimpulan



Penutup: Keseimbangan dan Kasih

Perbedaan tentang baptisan bayi bukan soal siapa benar atau salah, melainkan soal pemahaman teologis dan tradisi gereja. Yang paling penting adalah:

  • Mendidik anak-anak dalam iman, apakah mereka dibaptis saat bayi atau setelah dewasa.

  • Menunjukkan kasih Kristus, bukan memperdebatkan perbedaan cara.

Jejak Baptisan Yohanes — Dari Mikveh ke Sungai Yordan


Sebelum Yesus tampil di hadapan umum, terdengarlah suara lantang dari padang gurun: Yohanes Pembaptis memanggil umat kepada pertobatan melalui satu tanda yang menggetarkan hati—baptisan.

Namun, dari manakah Yohanes belajar membaptis? Mengapa ia memilih air, bahkan perendaman di Sungai Yordan, sebagai sarana pertobatan?

Jawabannya tidak lepas dari akar budaya dan iman Yahudi yang kaya akan simbol penyucian. Dalam tradisi mereka, air bukan sekadar lambang kebersihan, tetapi sarana pemulihan spiritual. Melalui mikveh dan praktik para imam serta komunitas religius seperti Esseni, kita menemukan benih dari baptisan selam yang kemudian dipakai Yohanes.

Namun lebih dari sekadar tradisi, Yohanes bertindak atas dasar panggilan ilahi. Ia bukan hanya menyelamkan tubuh manusia ke dalam air, tetapi juga membenamkan hati mereka ke dalam pertobatan—menyiapkan jalan bagi Mesias.

Tulisan ini mengajak kita menyelami asal-usul dan makna mendalam dari baptisan Yohanes. Sebab, di balik setiap percikan sejarah dan setiap riak air Sungai Yordan, tersimpan pesan kekal tentang pertobatan, penyucian, dan awal yang baru dalam terang Kristus.

1. Latar Belakang Budaya dan Agama Yahudi

Yohanes Pembaptis hidup dan melayani di tengah masyarakat Yahudi pada abad pertama, yang sudah memiliki tradisi penyucian dengan air yang cukup kuat. Dalam agama Yahudi, dikenal yang namanya “mikveh”, yaitu kolam air yang digunakan untuk mandi ritual (ritual purification).

  • Mikveh (מִקְוֶה‎ atau מקווה) adalah kolam atau tempat penampungan air alami, seperti air hujan yang ditampung atau air dari mata air, yang digunakan dalam tradisi Yahudi untuk ritual penyucian (taharah). Agar sah digunakan, seseorang harus masuk sepenuhnya ke dalam air, baik dengan cara diselam maupun berendam seluruh tubuh. Mikveh bukan sekadar tempat mandi, melainkan memiliki makna ritual dan spiritual yang mendalam, melambangkan pemulihan dari kenajisan ritus (ritual impurity) dan kesiapan untuk memasuki keadaan kudus di hadapan Tuhan.

  • Praktik ini umum dilakukan oleh para imam sebelum pelayanan di Bait Suci, wanita setelah menstruasi (niddah) atau melahirkan, sebagai bagian dari proses pertobatan (teshuvah) dan orang-orang yang kembali dari keadaan najis.

Jadi, dari kecil Yohanes sudah terbiasa melihat praktik penyucian dengan cara “diselam” ini di komunitasnya, terutama jika dia hidup dekat dengan komunitas religius seperti kaum Esseni.


2. Yohanes dan Komunitas Esseni? (Hipotesis)

Beberapa ahli berpendapat bahwa Yohanes mungkin pernah hidup bersama atau mendapat pengaruh dari komunitas Esseni—sebuah kelompok Yahudi yang sangat ketat menjaga kekudusan hidup, dan tinggal di daerah padang gurun dekat Qumran (dekat Laut Mati).

  • Komunitas Esseni juga menggunakan ritual penyucian dengan air yang dilakukan secara rutin, termasuk melalui perendaman total dalam air (mirip baptisan selam).

  • Jika Yohanes tumbuh atau pernah belajar dari komunitas ini, maka pengaruh cara pembaptisan dengan diselam sangat mungkin ia dapat dari sana.


3. Inspirasi dan Panggilan Ilahi

Selain pengaruh tradisi dan lingkungan, panggilan Yohanes bersifat ilahi. Lukas 3:2 mengatakan bahwa “firman Allah datang kepada Yohanes di padang gurun.” Ini menunjukkan bahwa:

  • Yohanes bukan sekadar mengikuti tradisi, tapi juga dipimpin secara nabi-nabian oleh Tuhan untuk memakai pembaptisan sebagai tanda pertobatan dan persiapan menyambut Mesias.

  • Dalam perintah dan ilham yang ia terima, Tuhan bisa saja mengarahkan Yohanes untuk menggunakan metode penyelaman total, karena itu sangat kuat secara simbolis: dikuburkan dan bangkit kembali (simbol pertobatan dan hidup baru).


4. Simbolisme Baptisan Selam

Yohanes mungkin menyadari bahwa metode selam (perendaman total) memiliki makna rohani yang dalam:

  • Masuk ke dalam air = kematian terhadap dosa dan hidup lama

  • Keluar dari air = hidup baru, dibersihkan, dan disiapkan bagi Tuhan

Ini juga menjadi dasar teologis yang kuat kemudian dalam ajaran Yesus dan Rasul Paulus:

Kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan... demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.”
(Roma 6:4)


5. Lokasi dan Praktik Yohanes di Sungai Yordan

Yohanes membaptis di Sungai Yordan, bukan di tempat kecil seperti wadah atau baskom. Ini menunjukkan bahwa:

  • Tempatnya memungkinkan orang untuk masuk ke dalam air.

  • Praktiknya memang perendaman, bukan hanya dipercik.

Yohanes 3:23 menuliskan bahwa Yohanes “juga membaptis di Ainon, dekat Salim, sebab di situ banyak air.” Ini menguatkan bahwa banyak air dibutuhkan untuk membaptis dengan cara diselam.


Kesimpulan

Yohanes Pembaptis belajar membaptis dengan selam karena:

  1. Dipengaruhi oleh tradisi Yahudi seperti mikveh yang menggunakan perendaman air.

  2. Kemungkinan besar mendapat pengaruh dari komunitas religius seperti Esseni.

  3. Dipimpin langsung oleh firman Tuhan, sebagai bagian dari misi kenabiannya.

  4. Memilih perendaman karena maknanya yang kuat secara simbolik: pertobatan, kematian terhadap dosa, dan hidup baru.

  5. Diperkuat oleh lokasi pembaptisan yang memungkinkan baptisan selam, seperti Sungai Yordan.

Pembaptisan Yohanes dengan cara selam bukan sekadar metode, tapi sarat makna rohani yang mempersiapkan hati manusia menyambut Sang Mesias—Yesus Kristus.

Mengapa Cara Baptis Bisa Berubah?

Baptisan adalah salah satu sakramen atau ordinansi terpenting dalam iman Kristen. Ia menjadi tanda nyata dari pertobatan, iman, dan kelahiran baru dalam Kristus. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul satu pertanyaan yang sering menimbulkan diskusi di antara berbagai tradisi gereja:

Mengapa ada yang dibaptis dengan selam, ada pula dengan percik? Dan mana yang paling sesuai dengan Alkitab?

Tulisan ini tidak bertujuan menciptakan perdebatan, melainkan menyajikan pemahaman historis dan teologis tentang bagaimana praktik baptisan berkembang dari zaman gereja mula-mula hingga kini. Dari sungai-sungai di Yudea hingga ruang-ruang kecil di Eropa, dari baptisan orang sehat hingga baptisan orang sakit — semua memberi gambaran bahwa iman Kristen selalu berusaha setia pada inti ajarannya, meski caranya kadang menyesuaikan keadaan.

Dengan memahami akar sejarah dan dasar alkitabiahnya, kita bisa lebih bijak — tidak hanya dalam menilai praktik yang berbeda, tapi juga dalam menghargai kekayaan tradisi tubuh Kristus.


1. Baptisan Awal: Selalu dengan Cara Diselam

Pada masa gereja mula-mula (abad pertama), baptisan dilakukan dengan cara selam, meneladani baptisan Yohanes dan juga Yesus sendiri di Sungai Yordan (Matius 3:16 – “Yesus segera keluar dari air”).

  • Sumber sejarah gereja (misalnya Didache, naskah abad 1–2) menyatakan bahwa baptisan ideal dilakukan di air yang mengalir dan dengan perendaman total.

  • Baptisan selam menyimbolkan kematian dan kebangkitan bersama Kristus (Roma 6:3–4), sebuah makna yang lebih kuat bila dilakukan dengan masuk dan keluar dari air.


2. Perubahan Bertahap: Faktor Keadaan dan Kebutuhan

Mulai abad ke-2 dan seterusnya, praktik baptisan mulai bergeser dari selam ke percik, karena beberapa alasan:

a. Keterbatasan Air

  • Di beberapa wilayah seperti Mesir, Palestina bagian gurun, atau Eropa Utara saat musim dingin, sulit mendapatkan air yang cukup untuk perendaman.

  • Maka, digunakan metode menuangkan air ke atas kepala (affusion), atau bahkan memercikkan air (aspersion), sebagai alternatif praktis.

b. Baptisan Orang Sakit dan Bayi

  • Banyak orang yang bertobat dan ingin dibaptis dalam kondisi sakit atau sekarat.

  • Karena mereka tidak mampu dibawa ke air, maka air dibawa kepada mereka.

  • Dalam kondisi ini, percikan atau menuangkan air ke atas kepala menjadi solusi.

Contoh historis: Kaisar Konstantinus (abad ke-4) dibaptis dalam keadaan sakit, bukan dengan selam.


3. Teologi dan Liturgi Gereja Abad Pertengahan

Seiring waktu, gereja mulai menganggap makna baptisan lebih penting daripada cara teknisnya.

  • Teologi Katolik dan kemudian sebagian tradisi Protestan mulai mengajarkan bahwa esensi baptisan adalah anugerah rohani, bukan jumlah air.

  • Maka metode percik dianggap sah asalkan dilakukan “dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”.

Selain itu, di abad pertengahan, gereja mulai:

  • Mengalihkan fokus pada baptisan bayi (infant baptism).

  • Baptisan bayi lebih mudah dilakukan dengan percik, dan dianggap cukup sah oleh gereja.


4. Reformasi dan Denominasi Kristen

Saat Reformasi abad ke-16 terjadi, pandangan mengenai baptisan terbagi:

a. Katolik Roma dan Gereja Reformasi Tradisional (Lutheran, Calvinis)

  • Tetap mengakui baptisan percik sebagai sah.

  • Menjaga praktik baptisan bayi.

b. Anabaptis dan Baptis

  • Menolak baptisan bayi.

  • Menegaskan bahwa baptisan harus atas dasar iman pribadi dan dilakukan dengan selam, sesuai teladan Alkitab.


5. Pandangan Masa Kini

Saat ini, gereja-gereja Kristen terbagi menjadi dua pendekatan:

🔸 Gereja yang menerima baptisan percik:

  • Katolik Roma

  • Lutheran

  • Reformed/Presbiterian

  • Methodis

🔸 Gereja yang hanya mengakui baptisan selam:

  • Baptis

  • Pentakosta/Kharismatik

  • Advent

  • Sebagian besar gereja independen atau evangelikal


6. Apa yang Alkitab Katakan?

Alkitab sendiri tidak secara eksplisit menyebut metode percik, tapi beberapa prinsip penting bisa diambil:

  • Baptisan melambangkan penguburan dan kebangkitan (Roma 6:4) → mendukung selam

  • Tapi Alkitab juga menekankan iman, pertobatan, dan anugerah Allah sebagai esensi, bukan teknis → menjadi dasar toleransi terhadap percik di gereja tertentu.


Kesimpulan

Perubahan dari baptis selam ke percik terjadi karena:

  1. Kondisi praktis (kekurangan air, baptisan darurat).

  2. Perkembangan teologi yang menekankan makna rohani lebih dari metode teknis.

  3. Perubahan liturgi seperti baptisan bayi.

  4. Perbedaan tafsir dan tradisi gereja yang terus berlanjut hingga sekarang.

Meski demikian, baptisan selam tetap dianggap yang paling sesuai dengan teladan Alkitab, dan banyak gereja terus mempertahankannya karena nilai simbolis yang sangat kuat.

Di Balik Panggilan Sang Penentang : Iblis, Satan, dan Lucifer

Sepanjang sejarah iman Kristen, tiga kata ini kerap menimbulkan rasa ingin tahu, bahkan perdebatan: Iblis, Satan, dan Lucifer. Sebagian menganggap ketiganya hanyalah sebutan berbeda untuk musuh besar Allah dan manusia, sementara yang lain melihat ada perbedaan makna dan latar belakang yang penting untuk dipahami.

Di balik setiap panggilan, tersimpan kisah dan nuansa tersendiri—dari “penuduh” yang mengintai dan menyesatkan, hingga “bintang fajar” yang jatuh karena kesombongan. Alkitab, sejarah bahasa, dan tradisi gereja memberikan potret yang lebih kaya daripada sekadar label untuk si jahat.

Memahami siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Alkitab ketika menyebut Iblis, Satan, atau Lucifer bukan hanya menambah wawasan teologis, tetapi juga menajamkan kewaspadaan rohani kita terhadap musuh yang terus bekerja hingga hari ini.

Dalam Alkitab, panggilan seperti Iblis, Satan, dan Lucifer sering kali dianggap merujuk kepada entitas yang sama: musuh utama Allah dan umat manusia. Namun, masing-masing panggilan ini memiliki latar belakang, makna, dan konteks penggunaan yang berbeda dalam Alkitab maupun dalam tradisi Kristen. Mari kita jelajahi perbedaan dan hubungan antara ketiganya.

1. Iblis

Kata "Iblis" berasal dari bahasa Yunani diabolos, yang berarti penuduh atau penghancur. Dalam bahasa Ibrani, istilah ini setara dengan "Satan".

Dalam Alkitab, Iblis digambarkan sebagai:

  • Musuh Allah dan manusia (Yohanes 8:44)

  • Penipu dan penggoda, yang berusaha menjatuhkan manusia ke dalam dosa (1 Petrus 5:8)

  • Penuduh umat Tuhan, seperti disebut dalam Wahyu 12:10:
    "penuduh saudara-saudara kita, yang siang malam menuduh mereka di hadapan Allah kita."


2. Satan

Kata "Satan" berasal dari bahasa Ibrani שָּׂטָן (śāṭān), yang berarti penentang, musuh, atau penggugat. Dalam banyak bagian Alkitab, Satan muncul sebagai entitas rohani yang menentang karya Allah dan menggoda manusia.

Beberapa contoh:

  • Ayub 1:6–12 – Satan tampil sebagai penantang dan penggoda, yang mencoba menghancurkan iman Ayub dengan izin Tuhan.

  • Matius 4:10 – Ketika mencobai Yesus di padang gurun, Ia ditolak dengan tegas: "Enyahlah, Iblis!"

  • Satan sering kali digambarkan sebagai pengacau rohani, yang berupaya menyesatkan dan menghancurkan umat Allah.

Meskipun "Iblis" dan "Satan" adalah istilah berbeda secara bahasa, keduanya sering digunakan secara bergantian dalam konteks Alkitab untuk merujuk pada entitas yang sama: si jahat yang menentang Allah dan menggoda manusia.


3. Lucifer

Kata "Lucifer" hanya muncul sekali dalam Alkitab versi King James Version (KJV), yaitu di Yesaya 14:12:

"How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning!"

🔤 Bahasa Asli dan Terjemahan

  • Bahasa Ibrani: הֵילֵל בֶּן-שָׁחַר (Helel ben Shachar) — artinya bintang fajar, anak subuh (planet Venus).

  • LAI TB: "Hai Bintang Timur, putera Fajar."

  • ESV: "O Day Star, son of Dawn!"

Awalnya, ayat ini adalah sindiran terhadap Raja Babel yang sombong dan tinggi hati, yang berambisi “menaikkan takhtanya di atas bintang-bintang Allah” (Yesaya 14:13–14), namun akhirnya dijatuhkan ke dalam kehinaan. Dalam konteks ini, Lucifer melambangkan kesombongan yang mendahului kehancuran.

Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh St. Jerome dalam Vulgata (abad ke-4 M), kata itu diterjemahkan sebagai:

Lucifer, yang dalam bahasa Latin berarti “pembawa terang” (dari lux = terang, dan ferre = membawa).

Jadi secara harfiah, Lucifer berarti “pembawa terang”, bukan nama pribadi.

Alkitab tidak pernah memberi nama pribadi kepada Iblis. Semua yang kita baca hanyalah sebutan, gelar, atau fungsi, bukan nama diri.

Kenapa? Karena memberi nama adalah bentuk penghormatan, sedangkan Alkitab tidak pernah memuliakan dia.


Lucifer dan Tradisi Kristen

Seiring waktu, terutama dalam tradisi Kristen awal dan teologi patristik, ayat tentang kejatuhan "bintang fajar" ini diinterpretasikan secara alegoris sebagai kisah kejatuhan iblis — seorang malaikat terang yang memberontak terhadap Allah, lalu diusir dari surga (bandingkan dengan Wahyu 12:7-9 dan Lukas 10:18).

Dengan demikian, “Lucifer” menjadi:

  • Nama pra-kejatuhan dari sosok yang kemudian dikenal sebagai Satan/Iblis.

  • Simbol dari kesombongan dan pemberontakan terhadap Tuhan.


Perbedaan dan Hubungan Antara Ketiganya 


Kesimpulan Teologis

  1. Iblis dan Satan dalam Alkitab merujuk pada entitas yang sama, yaitu makhluk rohani yang melawan Allah dan menyesatkan manusia.

  2. Lucifer dalam konteks Yesaya 14:12 adalah gambaran simbolis dari raja Babel yang congkak, namun dalam perkembangan tradisi Kristen, Lucifer dihubungkan dengan malaikat yang jatuh, yaitu Satan.

  3. Ketiganya — Iblis, Satan, dan Lucifer — merangkum satu figur sentral dalam narasi kejatuhan, pencobaan, dan perlawanan terhadap Tuhan, namun masing-masing membawa dimensi makna yang berbeda: historis, simbolis, dan teologis.

Kepemimpinan yang Lahir dari Firman dan Air Mata

Di zaman ketika krisis rohani melanda umat Tuhan, muncul sosok pemimpin yang tidak hanya berani berbicara, tetapi juga berani menangis, bertobat, dan bertindakitulah Ezra. Kepemimpinannya bukan muncul karena ambisi pribadi atau dorongan politik, melainkan karena panggilan ilahi yang bertumpu pada Firman Tuhan.

Ezra bukan sekadar seorang pemimpin administratif. Ia adalah ahli Taurat yang memadukan pengetahuan akan hukum Tuhan dengan kehidupan yang taat dan teladan. Ia tidak hanya membaca Kitab, tapi membiarkan Kitab membentuk karakternya. Ia tidak sekadar memimpin dari depan, tapi juga berdoa dalam diam, merendahkan diri, dan menangis bagi bangsanya.

Dari Ezra, kita belajar bahwa kepemimpinan sejati lahir bukan dari kekuatan manusia, tapi dari integritas, hikmat, dan keberanian untuk menegakkan kebenaran walau harus menanggung resiko sosial dan emosional. Kepemimpinan rohani tidak hanya soal strategi dan struktur, tapi juga soal hati yang takut akan Tuhan, tangis yang tulus, dan tindakan yang bijak.

Tulisan ini akan mengupas lima pilar utama kepemimpinan Ezra: berbasis Firman, berintegritas, responsif, kolaboratif, dan berani menegakkan kekudusansebuah gambaran pemimpin sejati yang dibutuhkan di setiap zaman, termasuk zaman kita hari ini.


1. Kepemimpinan yang Berbasis Firman Tuhan

Ezra adalah ahli Taurat yang mahir dalam hukum Tuhan (Ezra 7:6, 10). Kepemimpinannya didasarkan pada pemahaman mendalam akan Firman, bukan sekadar pengalaman atau posisi.

“Ezra telah bertekad untuk mempelajari Taurat TUHAN dan melakukannya, serta mengajarkan ketetapan dan peraturan di antara orang Israel.” (Ezra 7:10)

Manajemen rohani: Seorang pemimpin harus memimpin dengan dasar kebenaran, bukan opini atau tradisi. Ezra tidak hanya tahu hukum Tuhan—ia juga melakukannya dan mengajarkannya.


2. Kepemimpinan dengan Integritas dan Teladan

Ezra tidak hanya menyuruh orang bertobat, ia sendiri merendahkan diri, menangis, berdoa, dan mengakui dosa bangsanya (Ezra 9:3–15).

Manajemen karakter: Ezra tidak menyalahkan orang lain, tapi memikul beban umat. Ini menciptakan kepercayaan dan pengaruh rohani yang kuat—karena dia memimpin dengan hati, bukan gengsi.


3. Kepemimpinan yang Responsif dan Strategis

Saat tahu ada dosa di tengah umat, Ezra tidak langsung “main sikat.” Ia berdoa dulu, lalu bertindak dengan bijaksana dan sistematis (Ezra 10).

  • Mengumpulkan umat (Ezra 10:7–9)
  • Memberi waktu untuk proses pertobatan (Ezra 10:13–17)
  • Menyusun daftar dan menyelesaikannya dengan rapi (Ezra 10:18–44)

Manajemen krisis: Ezra menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus:

  • Tahu kapan bersikap tegas,
  • Tahu kapan memberi waktu untuk perubahan,
  • Tahu bagaimana menyelesaikan masalah secara tertib.

4. Kepemimpinan Kolaboratif dan Delegatif

Ezra tidak bekerja sendiri. Ia:

  • Melibatkan tokoh-tokoh masyarakat (Ezra 10:5)
  • Bekerja sama dengan para imam dan tua-tua
  • Mengatur jadwal supaya proses pemisahan dilakukan adil dan bertanggung jawab

Manajemen tim: Ezra tahu kapan harus turun tangan sendiri dan kapan harus memberdayakan orang lain.


5. Kepemimpinan yang Mengutamakan Kekudusan, Bukan Popularitas

Ezra membuat keputusan tidak populer—meminta umat menceraikan istri asing (Ezra 10). Tapi ia tetap teguh karena itu perintah Tuhan, bukan keputusan politik.

Manajemen nilai: Seorang pemimpin sejati rela tidak disukai demi kebenaran.


Kesimpulan:

Kepemimpinan Ezra = Kombinasi antara hati yang takut akan Tuhan + ketegasan + strategi + integritas.

Ia adalah pemimpin yang:

  • Memandu dengan Firman
  • Menangis bersama umat
  • Bertindak sistematis
  • Membangun kekudusan

Monday, June 09, 2025

Menikah Karena Rencana, Bukan Karena Desakan


Di tengah dunia yang terus menekan dengan standar usia, budaya populer, dan ekspektasi sosial, banyak orang tergesa-gesa masuk ke dalam pernikahan tanpa mengerti makna sejatinya. Padahal, pernikahan bukan sekadar kontrak sosial atau pelarian dari kesepian—melainkan sebuah rencana kudus yang berasal dari hati Allah sendiri.

Sejak awal penciptaan, Tuhan berkata, "Tidak baik kalau manusia seorang diri saja" (Kej. 2:18). Ini bukan sekadar pengamatan praktis, tetapi pernyataan ilahi tentang desain-Nya bagi manusia—bahwa hidup akan lebih lengkap ketika dibangun dalam hubungan yang sepadan, sehat, dan saling menolong.

Namun, menikah bukan asal cocok. Alkitab dengan tegas mengajarkan pentingnya memilih pasangan yang seiman dan takut akan Tuhan, karena rumah tangga yang kokoh hanya bisa dibangun di atas fondasi iman yang sama. Dan waktu terbaik untuk menikah bukan ditentukan kalender atau umur, tapi kedewasaan rohani dan emosional.

Tuhan tidak merancang pernikahan hanya untuk kebahagiaan, tetapi untuk kekudusan. Dalam pernikahan, kita belajar mengasihi seperti Kristus mengasihi gereja—dengan kasih yang sabar, rela berkorban, dan tidak menyerah di tengah luka.

Karena itu, setiap langkah menuju pernikahan harus diawali dengan doa dan penyerahan total kepada Tuhan. Dialah yang tahu siapa yang terbaik, kapan yang tepat, dan bagaimana kita dapat masuk ke dalam janji kudus itu dengan hati yang benar. 

1. Menikah Adalah Rencana Tuhan yang Kudus

Kejadian 2:18"Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."

Pernikahan adalah rancangan Tuhan sejak awal, bukan sekadar keinginan pribadi. Maka, menikahlah bukan karena tekanan sosial, usia, atau tren, tetapi karena panggilan dan kesiapan untuk membangun rumah tangga yang memuliakan Tuhan.


2. Pilih Pasangan yang Seiman dan Takut Akan Tuhan

2 Korintus 6:14"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya."

Pastikan pasangan hidup adalah orang yang mengenal Tuhan dan hidup dalam kebenaran. Ini adalah fondasi utama agar rumah tangga dapat berjalan dalam kasih, kesetiaan, dan damai sejahtera.


3. Waktu Terbaik untuk Menikah: Saat Dewasa Rohani dan Emosional

Pengkhotbah 3:1"Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya."

Alkitab tidak memberikan usia tertentu untuk menikah, tetapi menyatakan bahwa segala sesuatu ada waktunya. Waktu terbaik untuk menikah adalah ketika:

  • Telah mengenal Tuhan secara pribadi (lahir baru)

  • Dewasa secara rohani, emosional, dan mental

  • Siap bertanggung jawab dalam komitmen seumur hidup

  • Telah menyelesaikan proses pertumbuhan pribadi (pendidikan, karakter, pekerjaan)

  • Mampu saling mengasihi dan mengampuni


4. Tujuan Pernikahan Bukan Sekadar Bahagia, Tapi Kudus

Efesus 5:25-27"Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya... supaya jemaat itu kudus dan tak bercela."

Pernikahan bukan hanya untuk kesenangan atau status sosial, tapi untuk menyucikan dan membentuk karakter dalam kasih Kristus. Jadi, pernikahan adalah panggilan untuk melayani dan bertumbuh bersama.


5. Pernikahan sebagai Latihan Kasih Ilahi

Lukas 6:27-28 – “Tetapi kepada kamu yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.”

Menyadari bagwa pernikahan adalah proses nyata dalam menerapkan ajaran Kotbah di Bukit (Matius 5:44), di mana Yesus mengajarkan kasih yang melampaui logika manusia - kasih yang mengampuni, melayani, dan tetap setia bahkan di tengah luka dan perbedaan.


6. Minta Tuntunan Tuhan Sebelum Melangkah

Amsal 3:5-6"Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu."

Jangan tergesa-gesa atau dipaksa menikah hanya karena desakan. Bawalah setiap langkah dalam doa dan penyerahan kepada Tuhan. Dia yang tahu waktu terbaik dan pasangan terbaik untuk kita.

Saturday, June 07, 2025

Antara Harga dan Nilai: Perspektif Etika dan Rohani dalam Kehidupan Manusia


Perbandingan antara nilai dan harga dalam kehidupan manusia adalah pembahasan yang mendalam—menyentuh aspek etika, spiritualitas, relasi, hingga tujuan hidup. Dalam terang Alkitab, kita belajar bahwa Allah memandang manusia bukan dari apa yang dimilikinya (harga), tetapi dari siapa dirinya di dalam Tuhan (nilai).


1. Definisi: Harga dan Nilai

  • Harga adalah angka atau jumlah uang yang dibayarkan untuk sesuatu. Ia bersifat lahiriah, terukur, dan sementara.

  • Nilai adalah makna, prinsip, atau kualitas yang melekat pada sesuatu atau seseorang, dan seringkali tidak bisa diukur dengan uang. Nilai bersifat batiniah, kekal, dan tak ternilai.

Contoh: Sebuah cincin bisa dihargai Rp 500.000. Tapi jika itu adalah warisan dari seorang ibu, nilainya tak ternilai bagi anaknya.


2. Dalam Diri Manusia

  • Dunia sering menilai seseorang dari “harga” lahiriahnya: gaji, penampilan, jabatan.

  • Namun harga diri sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki, melainkan pada karakter, integritas, kasih, dan kebenaran yang kita hidupi.

Alkitab berkata:

“Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” — 1 Samuel 16:7b


3. Dalam Relasi dan Pelayanan

  • Kita bisa membayar seseorang untuk bekerja (harga), tetapi tidak bisa membeli kesetiaan, kasih, atau kepercayaan (nilai).

  • Dalam pelayanan atau relasi kasih, kita dipanggil untuk memberi bukan agar dinilai tinggi, tetapi karena kasih itu sendiri adalah nilai yang luhur.

Alkitab berkata:

“Sebab kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik...” — Efesus 2:10


4. Perspektif Rohani: Nilai Manusia di Mata Allah

a. Manusia Bukan Barang Dagangan

Alkitab berkata:

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi ia kehilangan nyawanya?” — Markus 8:36

Jiwa manusia lebih berharga daripada seluruh dunia. Nilai manusia tidak bisa dikompensasikan dengan kekayaan sebesar apa pun.

b. Nilai Manusia Ditentukan oleh Penciptanya

Alkitab berkata:

“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita...” — Kejadian 1:26

Manusia bernilai karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah—bukan karena pencapaian atau harta dunia.

c. Kristus Membayar Harga Tertinggi

Alkitab berkata:

“Kamu telah ditebus... bukan dengan barang yang fana... melainkan dengan darah Kristus.” — 1 Petrus 1:18-19

Allah menebus kita bukan dengan emas atau perak, melainkan dengan darah Anak-Nya sendiri. Itu menunjukkan betapa tinggi nilai kita di mata-Nya.


5. Aplikasi Praktis

  • Jangan ukur orang dari seberapa banyak hartanya, tapi dari bagaimana ia memperlakukan sesama.

  • Bangun kehidupan yang penuh nilai—hidup dalam kasih, iman, pengampunan, dan kebenaran.

  • Ajarkan kepada anak-anak bahwa karakter dan kasih jauh lebih penting daripada popularitas dan kekayaan.


Kesimpulan

Harga menunjukkan apa yang bisa dibeli. Tapi nilai menunjukkan apa yang pantas dihargai.
Kita mungkin “tidak mahal” di mata dunia, tapi kita sangat bernilai di mata Allah.

Merah Putih: Dari Laut Maluku ke Panji Majapahit

Pertanyaan tentang siapa yang lebih dulu mengenal warna merah putih — Maluku atau Majapahit — memang menarik. Banyak orang mengira simbol me...