Tuesday, June 01, 2010

Kewarganegaraan yang Bertanggung Jawab oleh Dr. Johannes Leimena

Ceramah Dr. Johannes Leimena pada Konferensi Sudi Pendidikan Agama Kristen di Sukabumi yang diadakan tanggal 20 Mei - 10 Juni 1955



Warga Negara, Negara dan Bangsa

Dua perkataan termasuk dalam nama karangan ini : kewarganegaraan dan bertanggung jawab. Dalam perkataan kewarganegaraan termasuk "warga negara": anggota dari suatu negara. Artinya : seorang yang tidak dapat dipisahkan dari negaranya. Sebaliknya negara tidak dapat dipisahkan dari anggota-anggotanya, seperti tangan, kaki, mata dan sebagainya tidak dapat dipisahkan dari badan manusia. Badan adalah suatu persekutuan yang organis (organisch geheel). Badan tanpa mata, kaki, tangan dan sebagainya bukanlah suatu badan yang sempurna. Sebaliknya, kaki, tangan dan sebagainya tidak dapat digerakkan serasi (doelmatig), kalau tidak ada mata dan sebagainya. Badan merupakan suatu "fiunctionerend geheel", persekutuan dari fungsi fungsitiap anggota. Anggota-anggota masing-masing mempunyai fungsi, tempat dan maksud tersendiri dalam suatu "organisme" yang hidup dan yang bekerja secara harmonis, menurut aturan-aturan yang tertentu. Demikianlah juga negara dan anggota-anggotanya. Tiap anggota mempunyai tempat, fungsi dan maksud dalam organisme yang disebut negara itu. Warga negara sama dengan anggota suatu negara.

Apakah negara itu?

Negara adalah :

1. Persekutuan (gemeenschap) dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah (territorium);

2. Daerah ini mempunyai penduduk yang sebagian terbesar hidup sebagai bangsa;

3. Persekutuan orang-orang ini mempunyaipemerintah. Pemerintah ini mempunyai kekuasaan (macht) dan kewibawaan (gezag) dan mempunyai alat-alat kekuasaan (machtsorganen).

Seterusnya negara mempunyai: bendera, wapen (lambang), lagu.

Kita lihat bahwa negara dan bangsa adalah terjalin satu dengan yang lain. Sebenarnya negara sebagai "realitet" yang berdiri sendiri (zelfstandige werkelijkheid) tidak ada, yang ada ialah bangsa. Negara adalah suatu organisasi dan suatu fungsi dari bangsa.

Bertanyalah kita : Apakah bangsa itu? Jawab: Bangsa adalah suatu persekutuan (gemeenschap) orang-orang yang bukan saja :

1.   Mempunyai satu daerah yang tertentu di mana ia hidup;

2.   Mempunyai satu bahasa, dengan mana anggota-anggotanya berhubungan satu dengan yang lain;

3. Mempunyai satu hasrat hidup bersama (seperti Renan mengatakan: le desir d'ĂȘtre ensemble), tetapi juga

4.   Mempunyai satu sejarah, yang membuktikan bahwa ia mempunyai satu nasib (zaman yang lampau) dan menunjukkan satu tujuan (zaman yang akan datang)

 Pada tiap bangsa terdapat pula :

·        Suatu cara berpikir atas dasar/kesatuan (gelijkgestemd denken);

·        Suatu cara beraksi atas dasar satu tujuan;

·        Suatu persamaan dalam perasaan hidup (gemeenschappelijkheid v/ e bepaald levensgevoel)

Pertanyaan: bagaimanakah kita dapat merupakan dan hidup sebagai bangsa? Dijawab dengan: oleh negara yang mengakui tanggung jawab sepenuh-penuhnya atas tiap lapangan kehidupan dari bangsa itu. Dengan demikian, negara itu mempunyai fungsi. Berhubungan dengan fungsi negara ini, terdapat beberapa rumus (definisi) dari negara yang sebenarnya mempunyai makna yang sama :

1.      Negara adalah suatu bentuk hidup yang teratur dari suatu bangsa.

2.      Negara adalah fungsi dari bangsa; negara adalah organisasi dari bangsa itu.

Fungsi dari negara adalah : mengatur, melindungi, dan memper tahankan kehidupan dari bangsa sebagai kesatuan. Negara, dengan demikian, mempertahankan dan melindungi kehidupan dan hak-hak dari penduduknya. Negara mengatur hal-hal ini atas dasar hukum dan keadilan (recht en rechtvaardigheid). Dengan demikian, maka peraturan peraturan negara tergolong dalam suatu tata hukum yang setertib-tertibnya (rechtsorde). Peraturan-peraturan ini dijalankan atas dasar suatu kekua saan yang berdaulat (souvereine macht). Karena itu disebutkan juga hahwa: negara adalah suatu bangsa yang mempunyai suatu organisasi teritorial dengan suatu peraturan hukum yang dijalankan atas dasar suatu kekuasaan yang berdaulat.

Kalau kita bicara tentang negara, maka teringatlah kita kepada :


·        Daerah negara

·        Bentuk dan dasar negara

·     Warga negara dengan hak hak dan kewajiban kewajibannya, beserta kebebasan kebebasan dasar manusia dari penduduk

·    Alat alat perlengkapan negara (Pemerintah kabinet Parlemen) dengan tugas tugasnya masing masing, termasuk alat alat negara seperti angkatan perang dan polisi

·  Perundang-undangan dan peraturan-peraturan lain mengenai kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain

·        Hubungan dengan luar negeri.
 


 Warga Negara yang Bertanggung Jawab

Warga negara yang bertanggung jawab berarti bahwa warga warga itu turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berlaku dalam negaranya. Ia turut bertanggung jawab atas maju dan mundurnya negara itu. Ter hadap kemajuan negara, ia memuji pemerintah, terhadap kemunduran, ia memberikan kecaman kepada pemerintah dengan jalan-jalan dan saluran-saluran yang legal. Karena itu, kita hanya dapat mengatakan bahwa kita adalah warga negara yang mau turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berlaku dalam negara, jika kita telah mempunyai keinsyafan kenegaraan (staatsbewustzijn), dan keinsyafan kenegaraan tidak dapat tumbuh, jika tidak ada suatu keinsyafan kebangsaan (volksbewustzijn). Secara konkret: kita tidak dapat mengatakan bahwa kita adalah warga negara Indonesia, jika pada kita tidak ada suatu ke insyafan bahwa kita adalah anggota dari suatu organisme yang bernama negara Indonesia dan jika pada kita tidak ada suatu keinsyafan bahwa kita adalah anggota dari suatu persekutuan, yang disebut: bangsa Indonesia.

Kewarganegaraan yang bertanggung jawab.

Bertanggung jawab kepada apa atau siapa?

Seperti tadi telah dikatakan, tiap warga negara dalam suatu negara yang teratur mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Meskipun di Indonesia kita belum mempunyai suatu undang-undang kewarga negaraan tersendiri, dalam mana disebutkan satu per satu hak-hak dan kewajiban-kewajiban tiap warga, namun dalam Undang-undang Dasar Sementara (1950) telah dibentangkan beberapa hak dan kewajiban tiap warga (pasal 7 s/d pasal 34, 39, 124). Kita tahu bahwa dalam pasal 32 UUDS disebutkan:

"Setiap orang yang ada di daerah negara harus patuh kepada undang undang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa."

Pasal ini menguraikan tentang kepatuhan atau ketaatan tiap orang, termasuk warga negara. Tidaklah ada pasal-pasal dalam UUDS yang menyebutkan tentang tanggung jawab tiap warga negara. Kita tahu bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat, tapi kepada siapa warga negara bertanggung jawab dalam tindak-tanduknya? Menurut paham saya, secara rohani ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Mahakuasa; lecara duniawi ketatanegaraan ia bertanggung jawab kepada negara dan masyarakat (bangsa), yang keduanya, menurut bentuk yang baik, didasarkan atas hukum. Menurut pendapat saya, hukum ini paling baik dapat dijalankan dalam suatu negara dalam mana paham demokrasi berlaku. Demokrasi dalam arti kata: kemerdekaan dan persamaan hak lerhadap undang-undang (vrijheid der burgers en gelijkheid voor de wet).


Pandangan Kekristenan mengenai Dunia, Bangsa, Negara dan Masyarakat.

Pandangan kekristenan mengenai hal kewarganegaraan yang bertanggung jawab berhubungan erat dengan beberapa soal dasar :

I.              Bagaimana kita memandang dunia (wereld) di mana umat manusia hidup;
II.           Bagaimana kita memandang bangsa, dalam mana kita terhisab;
III.         Bagaimana kita memandang negara, yang darinya kita adalah warga;
IV.        Bagaimana kita memandang masyarakat, dalam mana kita tiap hari hidup dan bergerak.


I.             Bagaimana Kita Memandang Dunia (wereld) di mana Umat Manusia Hidup.

Dalam bahasa sehari-hari diadakan perbedaan antara dunia yang fana dan dunia yang baka. Dalam sejarah dunia dan sejarah gereja terdapat di satu pihak pandangan dalam mana kehidupan dan tata hidup manusia ditujukan melulu kepada alam yang baka. Dunia dan sejarahnya dipan dang sebagai "illusie"; ada orang-orang yang tidak mencampurkan dirinya dengan dunia ini berhubung dengan buruknya dunia yang disebabkan oleh kuasa-kuasa yang jahat. Inilah pandangan "wereldverzakers", yang menghindarkan dirinya dari pergaulan dan pergumulan dunia. Di lain pihak terdapat pandangan tentang cara hidup dan berpikirnya manusia yang melulu ditujukan kepada dunia sekarang. Pandangan ini terdapat umpamanya pada Marxisme dan orang-orang yang memegang pada paham "evolutie" dan kemajuan sosial terus-menerus. Sudah jelaslah bahwa pandangan yang pertama tidak mempedulikan kesulitan, kesukaran dan kebutuhan dunia (umat manusia) pada waktu sekarang, dan dengan demi kian is memperlemah perasaan tanggung jawab manusia terhadap dunia (masyarakat). Pandangan yang kedua menganggap secara sungguh-sungguh kehidupan manusia dalam dunia sekarang ini dan mempunyai visi opti mistic terhadap dunia. Penyempurnaan kehidupan, menurutnya, tidak terdapat dalam dunia yang akan datang, tetapi dalam dunia sekarang ini.

Alkitab mengajarkan kita bahwa ada suatu perhubungan yang rapat antara manusia dan bumi :

"TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai." (Mzm. 24:1 2)

Bumi ini adalah "taman" TUHAN. "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu." (Kej. 2:15)

Sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, "taman" itu menjadi suatu tempat yang terkutuk, di mana manusia dengan peluh mukanya akan memakan rezekinya (Kej. 3:19), tetapi bumi itu menjadi pula tempat aktivitas pendamaian Allah (Gods verzoenende aktiviteit) dalam Yesus Kristus. Oleh pekerjaan Tuhan Yesus Kristus, sengsara yang fana dalam dunia ini akan diganti dengan kemuliaan yang baka. Seperti Rasul Paulus berkata dalam Roma 8:18-21:

"Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam penghorapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah."

Dengan demikian maka bumi dan dunia manusia adalah "ciptaan Allah" dan "ciptaan kedua kalinya dari Allah" (scheppende en herscheppende werk Gods).

Sidang raya Dewan Gereja se-Dunia di Evanston (laporan Seksi III) berpendapat :

"Tuhan menciptakan dunia ini, segala waktu termasuk dalam tujuannya. Ia bergerak dan bertindak dalam sejarah dunia sebagai Raja. Menurut paham kekristenan, pusat sejarah dunia adalah kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam Yesus Kristus Allah masuk dalam dunia ini, menghukum dan mengampuninya".

 Kesimpulan :

Allah dalam Yesus Kristus, bukan saja Raja sorga, melainkan juga RajaUnia. Tuhan telah menciptakan bumi (dunia) ini. Ia mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, supaya barang siapa yang percaya akan Dia tidak akan binasa, melainkan memperoleh kehidupan yang kekal. Ia memperdamaikan dunia ini dalam Wells Kristus. Ia memerintah, melindungi dan memelihara dunia ini sampai Ia datang kelak kedua kalinya dengan segala kemuliaan-Nya. Dengan datangnya Tuhan Yesus Kristus dalam dunia ini, Allah telah menciptakan untuk kedua kalinya dunia ini. Pekerjaan kerajaan sorga Yang telah dimulai dengan kedatangan Tuhan Yesus Kristus akan disempurnakan oleh-Nya pada akhir zaman.

Kita yang hidup di antara dua waktu, yaitu antara kenaikan Tuhan sorga dan kedatangan kedua kalinya dalam dunia ini, tidak dapat melepaskan diri kita dari bumi (dunia) ini, tapi wajib turut serta dalam pemeliharaan dunia ini, turut serta dalam pekerjaan menegakkan kerajaan sorga dalam dunia ini.

Tuhan Yesus Kristus dalam doa-Nya berkata:

"Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia." (Yoh. 17:18)

Dengan demikian maka "wereldontvluchting" atau "wereldverzaking" adalah bertentangan dengan maksud dan perintah Allah. Sebaliknya visi optimistis terhadap dunia bertentangan dengan pelajaran Alkitab.


II.   Bagaimana Kita Memandang Bangsa, dalam Mana Kita Terhisab.

Mengenai hal ini, Alkitab menempatkan kita dalam suatu posisi (kedu dukan) yang "paradoxaal". Pada satu pihak kita diharuskan memandang bangsa itu dengan sungguh-sungguh, dengan penuh keyakinan. Bangsa ialah tempat di mana Tuhan menempatkan kita untuk menjawab perintah (panggilan)-Nya. Dengan demikian maka kita tidak boleh menjadi "gede nationaliseerde individuen" atau "kosmopolieten", seperti Ahasyweros Ahasyweros yang modern. Tentang hal ini Rasul Paulus berkata :

"Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka." (Kis. 17:26)

Di lain pihak Perjanjian Baru memperlihatkan suatu konsepsi mengenai bangsa yang dipengaruhi oleh perspektif "eschatologis". Seperti Rasul Paulus dalam Filipi 3:20 berkata :

"Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat," atau dalam I Petrus 2:11, "Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, . . . "

Kita dipanggil menjadi anggota bangsa kita dan anggota Umat Allah.

Sudah barang tentu hal ini membawa suatu ketegangan (spanning) dalam kehidupan kita.


III.   Bagaimana Kita Memandang Negara, yang darinya Kita adalah Warga.

Juga mengenai negara, orang Kristen mempunyai suatu kedudukan yang "paradoxaal". Ia adalah warga dari negaranya dalam dunia ini dan ia adalah juga warga dari kerajaan Kristus. Ia mempunyai "double citizen ship" (dwikewarganegaraan). Hal ini pula mengakibatkan suatu kete gangan (spanning) dalam kehidupannya sebagai warga negara.

Seperti di atas telah diuraikan: sebagai warga negara yang turut bertanggung jawab terhadap kehidupan negara, orang Kristen harus turut serta dalam menentukan dasar dan bentuk negara, ia harus turut serta dalam menentukan pemerintahan negara dan turut serta dalam menentu kan peraturan-peraturan hukum undang-undang dan lain-lain hal yang mengatur kehidupan negara. Berhubung dengan hal ini, maka timbul pelbagai pertanyaan seperti:

·        Sampai berapa jauhkah kekuasaan negara itu mengikat;

·        Apa yang menjadi sumber dari kekuasaan negara;

·        Sampai berapa jauh orang Kristen dapat taat kepada negara?

Sebenarnya, semua pertanyaan ini berkisar pada soal yang besar: Nagaimanakah hubungan Gereja dan Negara" dan berdampingan dengan itu ialah soal: "Bagaimanakah orang Kristen dapat hidup dengan Tuhan nya dan bersamaan dengan itu hidup sebagai warga negara yang baik," iebih tegas lagi: "Bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen ruang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan yang bertanggung"

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tersebut di atas ini, berhu bungan erat dengan teori-teori dan pendirian-pendirian mengenai “negara” (staatstheorieen). Dalam hubungan ini saya hanya hendak menggatakan pendirian-pendirian mengenai negara menurut :

·        Luther

·        Calvin

·        Barth


Luther

Biasanya disebutkan bahwa Luther mengemukakan teori "dua lingkungan" (twee rijken) atas dasar nisbah (hubungan) dari hukum Taurat dan Injil (Wet en Evangelie). Menurut Luther: Injil termasuk lingkungan Gereja dan hukum Taurat termasuk lingkungan gedung perwakilan rakyat (raadhuis). Injil menguasai "het innerlijke leven" (kehidupan batin). Negara dan Gereja adalah dua lapangan yang terpisah satu dari yang lain. Dengan demikian maka kehidupan negara gampang dilepaskan dari penguasaan Kristus. Dalam praktek Nazi Jerman, kita lihat bahwa Gereja yang membiarkan kehidupan negara, akhirnya dikuasai negara.

Calvin

Calvin mengajar: "kerkelijke dienst van God" (kebaktian kepada Allah dalam dan oleh kehidupan kekristenan) dan "politieke dienst van God" (kebaktian kepada Allah di lapangan kehidupan politik). Menurutnya, adalah dua lingkungan, lingkungan Gereja dan lingkungan dunia, tapi Tuhan Yesus Kristus adalah kepala Gereja dan dunia. Calvin atas dasar tersebut di atas memajukan tuntutan mengenai "politieke ordening" (atur an-aturan ketertiban politik). Menurutnya, juga "politieke ordening"harus memuliakan nama Tuhan dengan jalan mengatur keadilan, perdamaian, kemerdekaan, secara duniawi (uiterhjk recht, uiterlijke vrede, uiterlijke vrijheid).

Kalau Pemerintah - bagaimanapun bentuknya - bersedia memper lihatkan dasar kerohanian "politieke orde" itu, jadi mempertahankan keadilan, perdamaian dan kemerdekaan, maka orang Kristen wajib bekerja bersama dengan orang-orang yang berkuasa di lapangan politik.

Barth

Menurut Barth, pendirian Calvin mengandung kebenaran, tetapi pendirian Calvin terlalu dipengaruhi oleh teokrasi Abad Pertengahan (middel eeuwsche theocratie). Calvin mengharapkan terlalu banyak pertolongan dari negara. Menurut Barth, hal ini akan berakhir dengan "dominasi" negara atas Gereja. Luther dan Calvin, menurut Barth, tidak menjelaskan bagaimana kekuasaan politik dapat didasarkan atas kekuasaan dan pemerintahan Kristus. Karena itu Barth mau memberikan suatu "Christologische Fundering" dari negara.

·        Negara harus dipandang dari sudut kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.

·        Tuhan Yesus Kristus adalah kepala (Tuhan) dari Gereja dan Negara.

·      Negara mempunyai tugas menurut ketentuan Allah dalam suatu dunia yang masih ada dalam genggaman dosa, dalam dunia itu berdirilah Gereja.

·    Negara menjalankan tugas itu menurut kebijaksanaan (inzicht) dan kesanggupan (vermogen) yang ada padanya, ia menyelenggarakan hukum (keadilan) dan perdamaian dengan menggunakan kekuasaan.

·        Gereja adalah persekutuan dari orang-orang yang ditebus oleh Tuhan.

·         Negara adalah persekutuan politik.

·    Kalau Gereja benar-benar mengakui kekuasaan Tuhan Yesus Kristus, maka tak boleh ia mengisolir dirinya dalam dindingnya.

·     Gereja adalah lingkaran dalam (binnenste cirkel) dari kekuasaan Kristus; masyarakat umumnya adalah lingkaran yang luas (buitenstecirkel).

·   Hubungan Negara dan Gereja adalah suatu perhubungan dari lingkaran-lingkaran yang konsentris (concentrische cirkels); kedua lingkaran itu mempunyai satu titik pusat (middelpunt), yaitu Yesus Kristus.

Namun menurut Barth, tidak terdapatlah percampuran dari Gereja dan Negara. Gereja harus menjaga agar janganlah sampai ia menjadi Negara dan Negara tak boleh menjadi Gereja.

Gereja memperingatkan penguasa (pemerintah) dan yang dikuasainya (diperintahnya) kepada kerajaan dan keadilan Allah.

Teori-teori tentang negara dari Luther, Calvin dan Barth, yang secara ringkas sekali dibentangkan di atas ini, berlaku khusus bagi negara-negara yang hidup dalam alam tradisi kekristenan, dan yang keadaannya tidak sama dengan umpamanya negara-negara di Asia, yang masyarakatnya terdiri sebagian besar atas orang-orang yang tidak beragama Kristen (Islam, Hindu, Buddha, dan sebagainya), sehingga orang Kristen harus menyetujui suatu dasar negara yang dapat disetujui dan didukung oleh semua orang, yang memeluk berbagai agama itu. Dalam negara itu, semua harus mendapat kebebasan agama. Sudah jelas bahwa dasar negara itu haruslah sekuler. Namun juga negara sekuler ini perlu dipandang oleh umat Kristen dari sudut kekristenan.

Menurut pandangan saya, ada beberapa hal yang dapat kita pegang sebagai pokok pangkal dalam soal hubungan Negara dan Gereja:

1.      Alkitab mengajar kita tentang:

·        Kejadian atau ciptaan dunia (schepping).

·    Perdamaian (verzoening) dari umat manusia (dunia) dengan Allah dalam Yesus Kristus. Inilah yang disebutkan kejadian yang baru (penciptaan yang kedua kalinya herschepping) dari dunia.

·       Penyempurnaan (voleindiging) dari ciptaan yang kedua kali ini, yang tercapai pada waktu Tuhan Yesus datang pada kedua kalinya dalam dunia ini.

2.     Gereja mempunyai kewajiban mengabarkan kepada umat manusia tentang ciptaan yang baru dari dunia dalam Yesus Kristus itu.

3.   Ciptaan yang baru ini berarti: Pemulihan (herstel) suatu ketertiban (orde), perdamaian,keadilan, dan kemerdekaan dalam dunia sekarang.

4.      Karunia Allah memungkinkan "orde" itu, supaya dunia tidak terumus dalam suatu kekacauan (chaos) dan "yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran." (1 Tim. 2:4)

5.   Negara berkewajiban menyelenggarakan/memelihara ketertiban itu, dengan demikian menjadi pegawai Allah (Rm. 13:6). Karena Allah dalam Yesus Kristus adalah Tuhan dari dunia dan sorga, maka kekuasaan negara berasal dari Tuhan (afgeleid gezag). Dengan demikian negara tidak mempunyai tujuan dan norma dalam dirinya. Fungsi yang diberikan kepada negara ialah memelihara ketertiban itu atas dasar Hukum dan Keadilan, dan menciptakan kemungkinankemungkinan kepada warga negara warga negara untuk bertindak sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

6.    Gereja, khusus umat Kristen, harus turut serta menegakkan ketertib an tersebut di atas. Ia tidak dapat membagi kehidupannya dalam dua lapangan yang terpisah sama sekali: kehidupan batin dan kehi dupan politik, tetapi kerajaan Allah harus dikabarkan dalam semua lapangan kehidupan, juga dalam lapangan Menurut "panggilannya" dalam lapangan politik ini, ia tiap kali hams menentukan sikapnya yang tergantung dari situasi dan soal yang dihadapinya.


IV. Bagaimana Kita Memandang Masyarakat, dalam mana Kita Tiap Hari Hidup dan Bergerak.

Kehidupan masyarakat berhubungan erat dengan kehidupan negara. Masyarakat adalah suatu kompleks dari berbagai bentuk kerja sama dan organisasi manusia. Dalam bentuk-bentuk organisasi yang beraneka warna

terdapat salah satu di antaranya ialah negara dan organisasi ini mem punyai sifat dan kepentingan istimewa.

Masyarakat (maatschappij, samenleving) mengandung arti "hidup bersama" (samenleven). Kita bertanya: atas dasar apakah masyarakat itu harus berdiri sehingga ia dapat menjadi masyarakat yang sebaik-baiknya?

Atas dasar idee Rousseaukah? Yang menganggap tabiat manusia itu adalah baik, sehingga negara, ialah suatu bentuk dari masyarakat, didasar kan atas suatu perjanjian (afspraak) dari oknum-oknum (individu) yang merdeka dan pugs akan diri sendiri.

Atas dasar ide Hobbeskah? Yang memandang tiap manusia sebagai srigala (wolf), sehingga negara merupakan suatu raksasa Leviathan yang sangat buas.

Atas ajaran Marxismekah? Yang menggantungkan segala sesuatu yang berharga dalam masyarakat (agama, moral, keadilan dan juga negara) pada hakikatnya, pada susunan dan perbandingan ekonomi atau cara cara produksi kebutuhan dalam masyarakat (productie verhoudingen); suatu ajaran yang didasarkan atas paham massa.

Pada dasarnya, ide-ide yang tersebut di atas dialaskan atas pendapat: manusia pribadi adalah dasar dari segala pengetahuan, juga dari cara hidup bersama dan dari apa yang seyogianya.

Juga Marxisme yang berpikir atas dasar massa sebenarnya bertujuan melepaskan individu dari belenggu.

Ataukah masyarakat harus didasarkan atas paham: manusia adalah suatu zoon politikon (makhluk sosial), dalam arti kata: manusia itu ada, oleh karena ada manusia yang lain. Dengan perkataan lain: dasar dari wujud manusia terletak bukan pada dirinya sendiri, melainkan pada cara is berdiri terhadap manusia yang lain.8 Hubungan dari Aku-Engkau (/k-Gij) ini yang menentukan dasar dari persekutuan, yang dinamakan "samenleving " (masyarakat). Karena itu, suatu bangsa dapat memperlihat kan suatu persekutuan, karena pada bangsa itu terdapat pelbagai ikatan yang nienghubungkan oknum oknum (individu-individu) menjadi satu bangsa. Nisbah Aku-Engkau ini yang menentukan dasar dari masyarakat. Hubungan oknum-khalayak ramai, sebenarnya, adalah suatu keharusan (gebod), ialah perintah pengasihan (liefdesgebod). Dalam pengasihan terhadap orang lain, manusia dapat berhubungan dengan orang lain dalam suatu persekutuan. Oleh pengasihan, massa (menigte) menjadi perse kutuan (gemeenschap), dan individu (oknum) menjadi diri pribadi (persoon). Dalam pengasihan, tiap persekutuan memperoleh dasar dan tujuan. Menurut pandangan kekristenan, dasar dari masyarakat ialah apa yang tercantum dalarn Mat. 22:37-40:

"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para Nabi."

Jalan pikiran tersebut di atas kita temukan dalam laporan Seksi III Sidang Raya Dewan Gereja gereja se-Dunia (Evanston, 1954), di mana disebutkan:

"Pertanggunganjawab umat Kristen di lapangan sosial didasarkan atas aktivitas yang mahabesar dari Allah, yang menjelma dalam Tuhan Yesus Kristus. Ia telah menciptakcin suatu hubungan yang hidup dengan umat manusia dan memberikan kepadanya suatu perjanjian dan perintah. Perjanjian bahwa barang siapa yang memenuhi panggilan-Nya akan memperoleh kehidupan dari Allah. Perintah bahwa manusia hares mengasihi sesama manusianya. Dalam panggilan melakukan usaha usaha sosial yang bertanggung jawab, kita diharuskan oleh Allah melihat dalam tiap sesama manusia, Kristus sendiri. Sebagai jawaban atas pengasihan Tuhan dan keinsyafan akan Hukum-Nya, umat Kristen bertindak sebagai orang yang bertanggung jawab."

Dalam hubungan ini, Evanston memperingatkan kita kepada pen dapat Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Amsterdam (1948), ,inengenai masyarakat yang bertanggung jawab. Antara lain dikemukakan:

"Masyarakat yang bertanggung jawab ialah masyarakat di mana kermerdekaan adalah kemerdekaan dari orang-orang yang mengakui bertanggung jawab kepada keadilan dan ketertiban umum, dan di mana mereka yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi bertanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan itu kepada Tuhan dan kepada rakyat."

Mengenai hal ini, Evanston menambahkan bahwa:

"Masyarakat yang bertanggung jawab ini bukanlah suatu alternatif sosial atau politik, melainkan suatu kriterium dengan mana pelbagai sistem sistem sosial dapat diukur dan pula suatu petunjuk dalam hal menentukan sikap."

Masyarakat yang bertanggung jawab bukan saja mengenai masyarakat yang maju tapi juga masyarakat yang masih mempunyai bentuk sosial yang buruk. Ia mengenai masyarakat yang besar maupun yang kecil (keluarga, pabrik, perkumpulan pemuda, desa, dan sebagainya) dan kehidupan masyarakat itu mengenai semua lapangan hidup, baik sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik. Bagi negeri-negeri Asia yang sosial ekonomis belum maju (dulu disebutkan "underdeveloped countries," sukarang disebutkan "areas of rapid social change" daerah-daerah dengan perubahan perubahan sosial yang cepat), hal ini berarti berhadapan dengan soal-soal:

·        Kemiskinan

·        Perubahan dalam lapisan masyarakat

·        Bentuk masyarakat desa

·        Pembangunan daerah-daerah di luar kota (rural areas)

·        Perkembangan-perkembangan di lapangan industri

·        Keadilan sosial dan kemerdekaan

·        Tekanan penambahan jumlah penduduk

·        Pengaruh dunia Barat.

Bagi Indonesia, umpamanya, segala sesuatu itu dipusatkan pada: bagaimanakah kita dapat menciptakan suatu negara yang adil dan makmur dan suatu masyarakat dalam mana terdapat: kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan (Mukadimah UUDS).

Ada juga yang mengatakan bahwa dalam masyarakat yang digambarkan di atas, berlaku paham:

"Hormat akan hukum kejadian alam dan turut akan keadilan" (Eerbied voor de scheppingsorde en het dienen der gerechligheid).

Umumnya di lapangan sosial ekonomi berlaku "The Golden Rule":

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 7:12).

Kalau hal-hal tersebut di atas termasuk tugas dan hak dari pemerintah, maka tugas warga negara-warga negara adalah juga turut serta dalam usaha-usaha ini dan mengeluarkan pendapatnya serta memohon per tanggungjawaban dari penguasa-penguasa. Karena itu warga negara harus turut bertanggung jawab mengenai cam is diperintah dan is bertugas mempunyai "interesse" dalam hal pemerintahan. Pendapat khalayak ramai (public opinion) sangat diperlukan oleh pemerintah untuk meng ukur kebijaksanaannya. Jika tidak ada "public opinion" yang sehat, maka ini sebetulnya berarti: kemunduran dari kehidupan masyarakat.


Tugas Setiap Warga Negara Indonesia terhadap Negara dan dalam Pemilihan Umum yang akan Datang.

Di atas telah dibicarakan prinsip-prinsip negara, bangsa, dan telah diberi kan - meskipun secara sepintas lalu suatu pandangan kekristenan mengenai dunia, negara, bangsa dan masyarakat. Pula dibentangkan sekadar tentang paham tanggung jawab.

Sekarang kita akan mencoba mengukur hal-hal itu pada masyarakat kita pada umumnya dan umat Kristen pada khususnya di Indonesia. Negara kita adalah negara yang baru. Sekarang ini, sesudah kita memiliki negara sendiri, maka kita berhadapan dengan soal-soal kenegaraan, baik yang berhubungan dengan dunia dalam maupun yang berhubungan dengan soal luar negeri. Kalau negara kita adalah milik kita semua, maka semua soal kewarganegaraan, baik yang sulit maupun yang enteng, adalah pula soal-soal kita sendiri. Dan kita harus bersama-sama memecahkannya. Inilah tanggung jawab dan tugas kita bersama. Sebab kemerdekaan berarti tanggung jawab. Syarat mutlak untuk pertanggungan jawab ini ialah keinsyafan kenegaraan.

Menurut perasaan saya, keinsyafan ini - meskipun belumlah seperti yang dikehendaki toh makin lama makin mendalam pada golongan twkingan bangsa kita. Namun hal ini perlu dipupuk supaya lebih meresap diam jiwa tiap-tiap anggota bangsa kita. Perasaan kenegaraan ini mendapat suatu extra-stimulan, kalau kita ke luar negeri dan kita melihat bahwa di sana ada perwakilan kita di mana bendera negara kita - merah putih - berkibar. Keinsyafan ini harus berjalan berdampingan dengan kecintaan pada tanah air kita yang merupakan negara, dan yang pulau-pulaunya bertebaran laksana rangkaian jamrud yang melingkari khatulistiwa dari Sabang sampai Morauke. Kecintaan ini pula harus dipupuk dan diperdalam baik pada golongan pemuda dan pemudi, maupun pada golongan tua. Keinsyafan kenegaraan dan kecintaan pada negara ini kiranya dapat diperdalam jika kita pandang negara kita ini sebagai suatu karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam suatu periode dari sejarah dunia, Tuhan mengaruniakan kepada hangsa Indonesia suatu negara. Menurut uandangan saya. Tuhan mempunyai maksud dengan negara ini. Dengan pemberian itu Tuhan memberikan suatu tugas kepada negara dan bangsa itu, ialah tugas memelihara kehidupannya sendiri dengan sebaik-baiknya dengan negara- negara tetangganya. Dengan demikian, negara itu turut serta menciptakan suatu masyarakat dunia (samenleving der volkeren) yang sehat.

Dilihat dari sudut rohani, negara dan bangsa itu sebenarnya harus hidup, bukan saja untuk mencapai suatu derajat yang setinggi-tingginya di antara bangsa-bangsa, tetapi ia juga harus hidup untuk memuliakan nama Tuhan. Saya mengerti bahwa tugas ini adalah suatu tugas yang maha berat. Namun bukankah juga benar bahwa dalam sejarah dunia kita lihat bahwa suatu negara (bangsa) runtuh pada waktu ia tidak lagi mengindahkan norma-norma yang dikehendaki Tuhan? Dipandang dari sudut ini, tanggung jawab tiap bangsa, tiap warga negara dan pemerintah adalah sungguh berat.

Tadi telah dikemukakan bahwa tiap warga negara, yang beragama apa pun, mempunyai tempat, fungsi, dan maksud dalam lingkungan tugas negara. Karena itu, kita semua berkepentingan dalam hal menentukan bentuk dan dasar negara kita. Dalam hal ini harus dicari suatu pembagi yang terbesar (grootste gemenedeler) bagi semua golongan dari bangsa kita. Semua harus mufakat bahwa dasar negara yang dimufakati itu adalah dasar yang terbaik bagi negara kita. Oleh karena semua mufakat dalam hal ini, maka semua pula mau mempertahankan negara itu; dan semua mau berkorban, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa bagi negara itu.

Soal inilah yang akan menjadi "piece de resistance" (soal yang utama) yang akan diperbincangkan dalam Konstituante yang akan datang, sebagai suatu badan yang terdiri dari golongan-golongan masyarakat, yang ditugaskan menyiapkan UUD negara kita yang tetap. Di sini terletak pentingnya pemilihan umum yang akan datang. Melalaikan pemilihan umum berarti melalaikan tanggung jawab kite terhadap negara kita, yang dasar dan kehidupannya harus ditentukan oleh kita bersama, kaum Kristen dan bukan Kristen.

Secara konkret, kelak kita harus mufakat dalam memilih:

·        negara yang didasarkan atas pelajaran Komunisme,

·        negara yang didasarkan atas Quran dan Hadits atau

·        negara yang didasarkan atas Pancasila.

Menurut paham saya, kalau kita tidak mendapat persesuaian paham dalam hal ini - dan sampai hari ini saya belum melihat suatu "rumus" yang terbaik dan yang akan memuaskan semua golongan daripada Pancasila - maka akan pecahlah negara kita ini dan akan sia-sialah perjuangan bangsa kita. Ia akan menjadi mangsa dari burung-burung gagak luar negeri (buitenlandsche raven). Percekcokan dalam negeri sebagian besar terletak pada pendirian-pendirian yang bersimpang siur tentang dasar dan tujuan negara kita, oleh karena UUD kita adalah UUD Sementara.


Soal Bangsa dan Suku-Suku Bangsa; "Bhineka Tunggal Ika"

Di atas telah beberapa kali disinggung hubungan negara dan bangsa. Negara antara lain adalah bangsa yang mempunyai organisasi teritorial. tengan demikian, maka keinsyafan kenegaraan harus berjalan bersama :lama dengan keinsyafan kebangsaan. Negara Indonesia tidak dapat .berjalan terus dan hidup kekal bila dalam jiwa tiap warga negara tidak tetap tinggal menyala-nyala perasaan dan keinsyafan kebangsaan

Satu kali dan untuk selama lamanya kita harus menetapkan dalam pikiran dan hati kita - dan hal ini harus menjalin dalam segenap pandangan dan tindakan tindakan kita: Indonesia mempunyai pelbagai suku 'mku bangsa, tetapi semua suku-suku bangsa itu merupakan satu bangsa tua, dari Sabang sampai Merauke: "Bhineka Tunggal Ika". Meskipun suku-suku bangsa ini tidak mempunyai suatu tingkat kebudayaan yang alami, tetapi tiap suku mempunyai talenta dan corak tersendiri. Jika suku-suku bangsa itu diibaratkan bunga-bunga dan bunga-bunga itu dipersatukan, maka ia akan merupakan suatu karangan bunga yang indah permai. Jika ia diibaratkan alat-alat perlengkapan (organen) badan dan ia dipersatukan, maka ia menjadi suatu badan yang sehat dan kuat.

Pada waktu sekarang ini ada tendensi-tendensi yang lebih menekankan kepada "Bhineka", dengan demikian timbullah gejala-gejala "daerahisme" atau "provinsialisme" yang ekstrem. Perasaan daerah saja dan hasrat memajukan kehidupan daerah dengan sekuat tenaga adalah suatu perasaan dan hasrat yang sehat, asal saja jangan dilupakan kepentingan-kepentingan seluruh wilayah Indonesia. Sebaliknya ada tendensi-tendensi "sentralisme," yang menekankan kepada "Ika". Memang negara kita sebagai negara kepulauan memerlukan suatu "kekuasaan sentral" (centraal gezag) yang kuat, tetapi kekuasaan itu harus memberikan kepada daerah-daerah (bagian-bagian wilayah) suatu otonomi yang cukup dan yang dapat memuaskan daerah-daerah itu. "Bhineka Tunggal Ika" hanya bisa berlaku sempurna, jika "Bhineka" itu diperkuat oleh "Ika". Sebaliknya, "Ika" hanya dapat tetap "Ika", kalau "Bhineka" diperhatikan, diperkembangkan, dan dipentingkan. Pendeknya, haruslah ada imbangan yang sehat antara "Bhineka" dan "Ika".

Hal-hal tersebut di atas ini berlaku bagi semua warga negara, khusus bagi umat Kristen di daerah-daerah. Soal daerahisme yang ekstrem, seperti terjelma di daerah Maluku (RMS) adalah soal-soal yang timbul dari kesalah pahaman mengenai hubungan: bangsa-suku bangsa dan suku bangsa agama.

Kalau dalam hubungan-hubungan ini pun berlaku "Bhineka Tunggal Ika", maka saya percaya peristiwa-peristiwa seperti di Maluku itu tidak akan terulang.


Persesuaian Paham mengenai Dasar dan Tujuan Masyarakat Indonesia Amat Penting

Apa yang dibentangkan tentang negara dan bangsa berlaku pula bagi masyarakat dengan lapisan-lapisan dan golongan-golongannya. Masya rakat harus mempunyai dasar dan tujuan, kalau masyarakat itu hendak berkembang dengan sehat. Haruslah ada persesuaian paham mengenai dasar dari masyarakat. Pada umumnya kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh paham agama dan aliran-aliran filsafat yang terdapat dalam masyarakat itu. Hal ini menimbulkan pelbagai kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, baik di lapangan sosial ekonomi maupun politik dan kebudayaan. Hal ini pula menjadi sebab dari timbulnya pelbagai partai partai politik. Tetapi menurut paham saya, juga dalam hal ini kiranya harus ada suatu persesuaian paham. Selain dari persatuan bangsa, harus lah ada persatuan pendirian bahwa kehidupan masyarakat harus didasar kan atas hukum dan moral dan ditujukan kepada kebahagiaan dan kese jahteraan masyarakat.

Masyarakat di zaman yang lampau bersifat kolonial, artinya ia di pengaruhi oleh kekuasaan bangsa asing. Masyarakat pada dewasa ini sedang mencari bentuknya sendiri, yang cocok dengan sifat dan watak bangsa Indonesia yang telah merdeka. Masyarakat Indonesia dalam alam kemerdekaan sekarang ini belum mencapai suatu "kestabilan", ia sedang bergoyang. Golongan-golongan masyarakat sedang mengalami pergeseran. Segala sesuatu ini berjalan dengan perebutan kekuasaan, dan ada kalanya dengan metode-metode yang tidak cocok dengan moral. Kejujuran adalah guatu paham yang banyak dikatakan, tetapi kurang diwujudkan. Masya wakat kita merupakan masyarakat zaman peralihan, tetapi juga suatu masyarakat yang menunjukkan gejala-gejala yang tidak sehat. Dalam buku buku kecil yang bernama: "Keadaan dan Harapan" dan "Gereja di tengah-tengah Krisis Dunia dan Krisis di Indonesia," saya telah mencoba menggambarkan masyarakat kita pada waktu sekarang. Korupsi, demoralisasi dan lain-lain gejala yang buruk, sebenarnya menunjukkan bahwa kita datang kepada suatu keadaan, seakan akan kita tidak tahu dan tidak monghargai lagi sesama manusia.


Sikap Gereja dan Umat Kristen di Tengah Masyarakat Indonesia yang Bergolak

Dapatkah Gereja dan umat Kristen mewujudkan apa yang tercantum dalam Mat. 22:37 40 dan Mat. 7:12, yang tersebut tadi? Dapatkah ia dalam masyarakat yang bergolak ini mewujudkan Terang dan Garam kepercaya an? Dapatkah ia menjadi "hati nurani" (geweten) dari masyarakat? Bagaimanapun juga beratnya, sikap ini adalah sikap warga negara yang tanggung jawab.

Pertanyaan timbul: Apakah mungkin dengan sikap ini masyarakat k yang sebagian besar terdiri dari orang-orang pemeluk agama lain, dapat diubah ke arah perbaikan, menurut paham agama kita? Saya ber pendapat "ya," sebab:

1.   Masyarakat selalu mengindahkan dan menghargai sikap dan tindakan- tindakan yang didasarkan atas pengasihan sesama manusia. Seperti padi tumbuh tanpa bersuara, demikian juga adalah pengaruh penga sihan ini dalam kehidupan masyarakat.

2.      Bagaimanapun, suruhan Tuhan kepada murid-murid-Nya tetap berlaku:

"Kamu adalah garam dan terang dunia." (Mat. 5:13-14)

"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang balk dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Mat. 5:16)

Bukankah masyarakat kita adalah sebagian dari kerajaan Allah yang harus ditegakkan oleh umat-Nya dalam "zaman antara dua waktu" ini?

Lagi pula, sejarah Gereja (ump. Kerajaan Romawi) dan sejarah dunia (Rusia dan Tiongkok) memperingatkan kita bahwa sebagian kecil dari masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan seluruh masyarakat dan bangsa, bahkan memimpinnya. Dalam hal ini diperlukan syarat yang utama, ialah bagian yang kecil itu harus mempunyai keyakinan dan kepercayaan yang teguh dan persatuan yang kokoh.

Dari masyarakat di Indonesia, memang tidak dapat diharapkan bahwa tiap pemerintahan mempunyai keinsyafan bertanggung jawab, bukan saja kepada rakyat (parlemen) tetapi juga kepada Tuhan, tetapi sedikitnya kita dapat berusaha agar pemerintah kita terdiri dari orang-orang yang mempunyai keinsyafan itu.


Sentral Pembangunan Masyarakat

Kalau pembangunan biasanya berjalan berdampingan dengan pembangunan (pembaruan) masyarakat, maka menurut paham saya beberapa sentral pembaruan memerlukan perhatian kita, ialah:

·        Keluarga.

Keluarga tetap menjadi batu dasar masyarakat.

Hubungan orang tua anak-anak, suami-istri, anak-anak satu dengan yang lain, merupakan perhubungan-perhubungan dari suatu masyarakat kecil. Baik atau tidak baik perhubungan ini, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat di luar rumah tangga, ialah masyarakat ramai. Di sini semua orang dapat belajar apa artinya "pengasihan".

·        Sekolah.

Sekolah tetap menjadi pusat di mana pemuda/pemudi dididik dalam hal tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat (bang sa) dan warga negara yang berharga.

·        Organisasi Pemuda-Pemudi.

Organisasi pemuda-pemudi juga menjadi sentrum di mana kaum pemuda belajar bertindak bersama secara teratur dan suatu sentrum dinamik di mana dapat tumbuh kua litas-kualitas (talenta) yang terpendam, sentrum di mana mereka belajar bertanggung jawab satu kepada yang lain, yang satu mengasihi yang lain.

·        Tempat-Tempat Pekerjaan (kantor, perusahaan dan lain lain)

Tempat pekerjaan yang aneka warna pula merupakan tempat di mana kita dapat menunjukkan keinsyafan kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap tugas kita sehari-hari dan pergaulan kita dengan orang-orang atasan dan orang-orang bawahan kita.

·        Gereja (bagi umat Kristen)

Bagi umat Kristen, Gereja merupakan persekutuan dari orang-orang yang percaya dan taat kepada Allah dalam Yesus Kristus. Gereja membangun masyarakat, sebagai suatu perjelmaan dari ciptaan yang baru (herschepping) dari dunia ini. Gereja membangun dunia ini dengan menjadikan dirinya gereja yang sejati, ialah persekutuan di antara persekutuan-persekutuan yang lain di dunia ini, dengan jalan menghubungkan orang-orang yang tidak mempunyai ikatan apa-apa, dengan mempertemukan orang-orang yang hidup tersendiri dengan sesama manusianya. Dengan demikian ia menjadikan dari masse suatu persekutuan.


Kesimpulan

Kesimpulan dari apa yang telah dibentangkan tentang kewarganegaraan yang bertanggung jawab, dan yang bagi umat Kristen mendapat ekspresi nya dalam pertanyaan: bagaimana kita bisa hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan warga negara yang sejati adalah sebagai berikut:

Dalam hal kecintaan, kesetiaan, ketaatan kepada dan pengorbanan bagi tanah air, bangsa dan negara, orang Kristen tidak dan tidak boleh kurang daripada orang orang lain, bahkan ia harus menjadi teladan bagi orang lain sebagai pencinta tanah air, warga negara yang bertanggung jawab dan nasionalis yang sejati. Segala sesuatu ini adalah refleksi dari kecintaan, kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhannya, dengan pengertian: "Soli Deo Gloria" (segala kemuliaan adalah hanya bagi Tuhan). Dengan demikian, maka ia lepaskan segala "minderwaardigheids complexen"yang mungkin ditimbulkan oleh kecenderungan golongan-golongan yang lain yang menganggapnya sebagai golongan minoritas.

Terhadap anggapan ini, ia hams mempunyai suatu sikap tegas. Umat Kristen bukanlah suatu minoritas, dilihat dari sudut ketatanegaraan, ia bukan warga negara-warga negara kelas 2 atau kelas 3, ia adalah warga negara yang mempunyai sama hak dan sama kewajiban seperti warga negara-warga negara lain. Bersama dengan mereka, ia bersedia dan sanggup mencurahkan pikiran dan tenaganya bagi pembangunan negara sebagai warga negara-warga negara yang bertanggung jawab.

No comments:

Perbedaan Lutheranisme - Calvinisme - Arminianisme

“For whom he did foreknow , he also did predestinate to be conformed to the image of his Son, that he might be the firstborn among many bret...